“Nak, Laila, bangun Nak!! Bukankah Hari ini kamu masuk kuliah? Nak,
Bangun!!” Ibu menarik selimut dan menggoyang-goyangkan tubuhku yang malas ini
dengan kedua tangannya. “Sudah jam tujuh pagi, kau tidak mengindahkan
kewajibanmu terhadap Tuhan—kau tidak solat subuh, ingat! Kau sudah dewasa, Nak!”
entah sudah berapa kalimat kata-kata rujukan Ibu kepadaku untuk mencoba
membangunkanku.
“Anak tak tahu di untung! Pukul saja dia, Bu. Biar sadar dari tidurnya!
Jangan kau manjakan dia, Bu!” suara Ayah yang menggeram-geram, menggetarkan
jantung bagi yang mendengarnya. Saya pun terbangun dari raungan suaranya. Tampak
ayah sedang duduk membaca koran, terlihat di ruang tamu berada di samping kamar
tidurku. Asap rokok keretek menggumpal di depan wajahnya, rokok yang di apit
kedua jarinya dia tusukan ke asbak yang sudah penuh dengan pentung, dan dia
lipat koran, kemudian membantingkannya ke kemeja. Sehingga, gelas yang berisi
kopi hitam itu terguncang, airnya membasi taplak meja “Tak pantas, kau Laila,
seorang gadis bangun sesiang ini. Cepatlah kau bersihkan badanmu dan carilah
ilmu.” Gertakan Ayah membuat saya terperanjat.
Saya bergegas menuju kamar mandi meninggalkan ibu di kamar. Setelah
itu, saya kenakan pakaian kebesaran Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Hari
pertama saya kuliah di jurusan Administrasi Negara, mungkin akan telat. Saya
lihat jam berada dilengan menunjukan pukul delapan, sedangkan menuju kampus
membutuhkan lebih dari sejam waktu perjalanan: menaiki dua kali kendaraan umum,
dan berjalan kaki terlebih dahulu, sekiranya satu kilometer untuk sampai pada
jalan raya. Rumahku memang jauh dari keramaian perkampungan—terpencil, entah
kenapa orangtuaku memilih tempat rumah yang jauh dari mana-mana ini.
Sesampainya di kampus, saya lihat kembali jam pada lengan kiri, jam
setengah sepuluh. Padahal jam kuliah dimulai pukul sembilan. Aduuuh! Saya tutup
wajah dengan kedua telapak tangan. Saya nampak gugup untuk memasuki ruangan
kelas, detak jantung berdegup kencang. Kaki-ku enggan melangkah, seperti
tertahan tanah. Tersirat dalam benak hati: apa yang akan terjadi? Apakah dosen
akan marah? Atau teman-teman akan menertawai-ku? Terlihat dalam bias pintu
kaca, dosen yang berbadan gemuk itu sedang berbicara di depan dalam kelas,
membuat saya semakin gugup. Saya ketuk pintu kaca dengan kepalan tangan tiga
kali, kemudia saya dorong kedepan, setelah itu saya masukan kepala saya.
“Permisi, Maa..” saya lihat dalam kelas, hanya lima orang. Lima
mahasiswa! Kemana yang lainnya? Bukankah saya terlambat setengah jam! Saya
masukan tubuhku dalam ruang kelas, dan melangkah “Maaf, saya terlambat!”
ucapku, terengah-engah kecapean.
“Silahkan duduk” jawab pak dosen mata kuliah filsafat. “Siapa
namamu?” belumlah saya duduk dikursi, dosen itu memanggil.
“Namaku Laila, Laila Sulami, Pak!” saya dudukan pantatku ke kursi,
dan mengambil alat tulis.
“Dimana rumahmu? Melihat keringat di keningmu, Nampaknya rumahmu
jauh sekali.”
“Kalabor Patana. Perbatasan dengan hutan konservasi, Pak!”
“Baru saya dengar derah itu,” dosen itu nampak bingung, terlihat
tangannya menggarukan kepala. “Baiklah, kita mulai lagi, sampai mana kita?”
“Definisi filsafat, Pak!” sahut seorang laki-laki disamping
kursiku.
“Iya, siapa yang tahu apa itu filsafat?” senyap, tidak adak yang menjawab.
“Etimologi filsafat..” dosen melanjutkan “ Dalam bahasa Indonesia,
merupakan kata serapan dari bahasa Arab: Falsafah. Yang juga diambil
dalam bahasa Yunani: Philosophia. Apa itu Philosophia? Adalah
kata majemuk yang berasal dari kata-kata (philia: Persahabatan, cinta
dsb). Dan (sophia: kebijaksanaan). Sehingga, arti harafiahnya adalah
seorang pencinta kebijaksanaan.....” Suara dosen yang keluar dari mulutnya
membuat saya bingung. Kata-katanya saya tak mengerti, bahasa yang baru saya
dengar di telinga. Mata kuliah filsafat, pelajaran pertama masuk kuliah,
sebagai mahasiswa. Mahasiswa!
Tiba-tiba, seorang laki-laki masuk ruangan. Rambutnya panjang,
berkumis tipis, mengenakan kemeja kotak-kotak putih-biru. Masuk tanpa permisi
dan duduk tanpa dipersilakan. Tidak membawa tas! Siapa dia? Dia menengok ke
samping, menuju pandanganku yang sedang memperhatikannya. aku palingkan muka
kedepan, kearah dosen berada. “...Jadi, filsafat itu adalah studi tentang
seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan
dalam konsep mendasar. Contoh sederhana: apa arti dari nama kalian? Ada yang
tahu?” bola mata dosen itu melirik dengan bantuan leher yang digerakannya
perlahan. Tidak ada yang menjawab, dan tidak ada yang mengacungkan tangan. Dan
tepat di hadapanku, lirikan mata sang dosen berhenti.
“Kau, Laila, apa tadi nama panjangmu?”
“Laila Sulami, Pak” jawabku
“Tahu kau apa arti dari namamu itu?” semua mahasiswa
menatapku. Begitu pula dengan laki-laki
itu, tersenyum melihatku, menunggu jawaban yang keluar dari mulutku.
“Tidak tahu, Pak!” dosen itu melihat jam pada lengannya.
“Baiklah, kuliah untuk saat ini kita cukupkan. Tugas kalian adalah
mencari tahu arti dari nama kalian sendiri.”
Selesailah Mata kuliah pertama. Selanjutnya, ada tiga mata kuliah
yang akan kupelajari hari ini. Dihari
pertama masuk sebagai mahasiswa, aku berkenalan dengan teman-teman sekelas.
Tanpa terkecuali dengan lelaki misterius itu, entah kemana setelah selesai
kuliah filsafat.
Dosen mata kuliah terakhir tidak ada, dosen mata kuliah Bela
Negara/Kewiranegaraan. Yang akhirnya, Karena tidak ada kegiatan lain, saya pulang lebih awal.
Setibanya di depan rumah, Ayah sedang menyabuti rumput di
pekarangan. Merasa aneh, nampak melihat kepadaku penuh keheranan.
“Hey! Kau bolos kuliah? Dasar kau! Ayah kuliahkan kau, bukan untuk
main-main,” suaranya membuat saya takut. “Masuk kau ke rumah.”
Saya berlari ke dalam rumah dengan kesal. Terdapati Ibu sedang
bersantai di lantai.
“Ada apalagi, Ayahmu berteriak-teriak? Kenapa kau, nak, pulang
begitu cepat?” Tanya ibuku keheranan.
Saya duduk disamping ibu, dan mulai bercerita. Tentang: kampus,
masuk kuliah terlambat, dosen, teman-teman, kenapa saya pulang cepat dan ...
menanyakan tentang arti dari namaku.
“Hmmm...arti dari namamu, ya?” bola mata Ibu yang coklat kemerahan
itu menengok ke atas, mengingat-ingat dan Ibu mulai bercerita. “Laila Sulami.
Laila itu artinya malam yang gelap.”
“Lalu, Sulami?” selaku.
“Sulami...” nampak airmuka ibu berkaca-kaca. Ibu diam sesaat,
wajahnya semakin memucat.
“...Sulami adalah nama dari teman Ibu, dia juga yang mempertemukan
Ibu dengan Ayahmu . Seorang perempuan Revolusioner. Seorang yang
berjuang melawan akar penindasan terhadap perempuan. Dia adalah Wakil Sekjen
dari organisasi Gerakan Wanita Indonesia Sadar, organisasi wanita pertama di
indonesia. Dengan organisasinya, dia berjuang untuk wanita indonesia dari belenggu
penindasan, dan organisasi itu menyikapi tentang: penolakan poligami, menolak
perkawinan dibawah umur, menolak kekerasan seksual terhadap wanita serta
memperjuangkan hak waris bagi wanita. Bahkan, Sulami ikut memanggul senjata
untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia pasca Proklamasi 17 Agustus 1945.
Tidak hanya itu, organisasi kaum hawa itu menolak keras mengenai
budaya feodal dan sistem ekonomi-politik kolonialis dan kapitalis. Dia—Sulami,
yang kini terdapat dalam namamu itu, adalah seorang wanita yang berideologikan
kiri. Organisasi yang berdiri sejak tanggal 4 Juni 1950, aktif dalam kampanye
dan aksi-aksi menuntut pembatalan hasil Konferensi Meja Bundar, menentang
kembalinya modal asing dan mengutuk peristiwa reaksioner peristiwa 17 Oktober 1955
(upaya sejumlah perwira AD mengkudeta Bung Karno dan membubarkan parlemen). Dari
keteguhan hatinya untuk memperjuangkan hak-hak wanita indonesia, dia terpilih
sebagai wakil dari indonesia dalam kongres wanita sedunia di Wina, Austria.
Pada tahun 1954, Organisasi wanita ini bergabung dengan partai
merah, partai yang pertama mengenakan kata Indonesia, jauh sebelum indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya. Jelas, partai ini mendukung dan memperjuangkan
hak-hak wanita dari penindasan. Partai pertama yang memperjuangkan hak wanita.
Selain poligami dan isu-isu kewanitaan, spektrum organisasi ini pun
meluas. Sulami dengan organisasinya itu aktif dalam program Pemberantasan Buta
Huruf (PBH) dan melakukan pendidikan usia dini, dengan nama: taman kanak-kanak
melati, yang tersebar di berbagai pelosok daerah. Memang, organisasi ini
memiliki tujuan untuk memajukan kesejahtraan perempuan dan anak-anak melalui
pendidikan. Tidak hanya itu, organisasi ini juga membantu kaum tani, dalam
mempertahankan hak-hak atas tanah dari pencaplokan aparat negara dan perusahaan
perkebunan. Seperti pada kasus: Tanjung Morawa, Sumatra Utara (1955) dan kasus
jengkol di Kediri (1957) dan masih banyak lagi yang Sulami lakukan di
daerah-daerah untuk memperjuangkan Reformasi Agraria demi tercapainya
kesejahteraan rakyat. Dalam kasus agraria itu, bersama partai merah, Sulami dan
oraganisasinya itu ikut turun ke lapangan, berjuang dengan kaum tani dalam
perlawanan untuk mendapatkan hak-hak rakyat atas tanah yang terampas.
Ingat! Jauh daripada itu, Sulami dan organisasinya ikut serta dalam
menyikapi isu Nasional. Seperti halnya dengan kampanye untuk pembebasan Irian
Barat, ikut melakukan politik konfrontasi Bung Karno, terhadap Malaysia. Ikut
serta mendukung perjuangan nasional melawan Neokolonialisme, seperti
yang di serukan Bung Karno kala itu. Seperti dengan partai merah juga,
organisasi Sulami berdiri di belakang Soekarno dalam rangka mengganyang
Nekolim. Walaupun! Organisasinya dicibir oleh organisasi lain sebagai ‘tutup
mata’ terhadap poligami Soekarno. Akan tetapi, tidak meruntuhkan prinsip dalam
menyerukan menentang poligami, karena kala itu—kontradiksi dari perlawanan
rakyat Indonesia adalah melawan Nekolim.
Nak! Sulami itu mempunyai paras yang cantik. Kamu yang secantik
ini, kalah dengan kecantikannya. Ibu pun menyadari semua itu. Namun, dengan
kecantikannya itu, serta tutur kata yang sopan dan santun, juga kebaikan
hatinya, ia gunkaan untuk menarik hati rakyat. Sehingga Sulami dan
organisasinya itu pernah memobilisasi 15.000 wanita ke Istana Negara, saat
peringatan Hari Perempuan Sedunia—1 maret 1961, menentang pembentukan boneka
papua oleh kolonialis Belanda. Dan aktif mendukung gerakan buruh untuk
menasionalisasi perusahaan asing, terutama perusahaan milik belanda. Langkah
ini sekaligus upaya pemerintah Bung Karno untuk melikuidasi sisa-sisa ekonomi
kolonial. Dalam kampanye nasionalisasi terhadap perusahaan minyak Caltex.
Sulami dan SOBSI menggalang pembantu rumah tangga untuk memboikot majikan
mereka. Aksi itu meluas ke restoran dan toko-toko untuk menolak orang asing.
Berlanjut pada tahun 1960-an, Sulami menggerakan organisasinya
untuk berkampanye akan ketersediaan pangan dan sandang bagi rakyat. Tak hanya
itu, dia juga melakukan aksi demonstrasi untuk menentang kenaikan harga bahan
pokok. Salah satu aksi demonstrasi yang besar digalangnya untuk menolak
kenaikan harga yang terjadi pada tahun 1960. Sehingga, Bung Karno merespon aksi
tersebut dan berjanji akan menurunkan harga dalam tiga tahun.
Di desa-desa, Sulami giat bekerjasama dengan Barisan Tani Indonesia
untuk membela dan memperjuangkan hak-hak kaum tani, seperti: hak atas tanah,
pembagian hasil panen yang adil, dll. Juga sering Sulami menggelar kursus dan
penelitian bagi perempuan tani di desa-desa. Serta aktif memperjuangkan
dilaksanakannya UU Pokok Agraria 1960 dan UU perjanjian Bagi Hasil.
Banyak sekali nak! Banyak! Jasa-jasa Sulami dan organisasinya itu
membantu rakyat Indonesia. Bahkan ibu hampir lupa, Sulami juga aktif
memperjuangkan hak-hak buruh perempuan. Sehingga, dulu—Pada tahun 1950-an,
Sulami berhasil mendesak Kongres Wanita Indonesia untuk mengadopsi piagam
hak-hak perempuan, yang di dalamnya ada bab khusus tentang hak buruh perempuan,
seperti: hak yang sama anatara laki-laki dan perempuan dalam memasuki semua
pekerjaan dan promosi jabatan, kesetaraan upah, dan penghapusan segala bentuk
diskriminasi di tempat kerja. Dengan Organisasinya, Sulami bersama SOBSI juga
kerap menggelar aksi bersama: menuntut upah yang sama, cuti menstruasi dan
hamil, hak perempuan mendapat promosi dan perlakuan yang sama di tempat kerja.
Setelah itu, Sulami dan Organisasinya mengalami masa-masa sulit
dalam medan perjuangan. Sebuah malapetaka bagi Sulami dan organisasinya, dimana
hal itu terjadi pada saat peristiwa gerakan satu Oktober. Sebuah pukulan balik dari
kaum kontra-Revolusi yang gerah dengan perjuangan Organisasi Sulami. Kemudian,
bersama partai merah, dan seluruh ormas yang beraliran kiri itu di tumpas oleh
militer/Angkatan Darat didikan Soeharto bersama milisi-milisi sipil binaannya.
Sulami, sebagai Wakil Sekjen Organisasi Wanita Indonesia Sadar. Dia menjadi
target sasaran militer untuk di tangkap. Dalam hal ini, Sulami, harus hidup
‘nomaden’ selama 15 Bulan. Dalam pelariannya itu, dia masih sempat menjadi
anggota panitia pendukung komando presiden Soekarno, sebagai loyalitasnya dalam
mendukung sang proklamator disaat semakin masifnya aksi-aksi demonstrasi anti
Bung Karno dan Anti golongan kiri. Di persembunyian—dalam perlarian, Sulami
menerbitkan buletin bernama: Pendukung Komando Presiden Soekarno.
Namun, pelariannya berakhir pada Bulan Februari 1967. Sulami
ditangkap militer atas perintah langsung Panglima Kodam Jaya Amir Machmud.
Sulami dijebloskan ke tahanan Bukit Duri, Jakarta Selatan. Dari sejak itulah,
Ibu dan Ayahmu tak bertemu dengannya lagi.
Dalam penjara, Sulami kerap disiksa dan diperlakukan tidak senonoh
oleh aparat. Yang menyebabkan Sulami menderita sakit dari siksa fisik dan juga
psikis. Dia di perlakukan seperti itu, dimana saat kala itu dia dan
organisasinya sedang memperjuangkan dan melawan atas penindasan wanita. Penyiksaan
itu dirasakan juga oleh kader-kader partai merah dan soekarnois pada masa yang
sama....” air mata ibu membasahi baju, jatuh meleleh dari mata coklat
kemerahannya itu. Bersedu, mendesah. “...Kau tahu, Sulami—Anakku, kenapa
dia—Sulami, bernamakan seperti namamu? Dulu Ibu menanyakan langung kepadanya,
percis seperti kamu—anakku, menanyakan arti nama Sulami Kepada Ibu. Menurut Ibu
Sulami: Sulami adalah nama dari seorang Sufi besaar, Sufi yang produktif
menulis. Namanya As-Sulami, lengkapnya Abu Abdurrahman bin Al-Hussain bin
Muhammad bin Musa As-Sulami Al-Azdi. Ia lahir di Khurasan, Iran, pada Tahun 325
H/937 M, dalam sebuah keluarga yang sangat taat beragama. Bahkan, kedua
orangtuanya dikenal sebagai ulama dan sufi yang masyhur di Khurasan. Dalam
sebuah suasana keluarga serba religius inilah yang mempengaruhi As-Sulami di
kemudian hari. Pada saat Sulami berumur 15 Tahun, Ayahnya meninggal. dan Sulami
diasuh oleh nenek dari pihak ibunya.
Sejak kecil, As-Sulami sudah mendalami Bahasa Arab dan Al-Quran
sebagai basis untuk mempelajari berbagai hal mengenai Islam.
Banyak guru yang disebutkan Ibu Sulami, Nak, ketika Sulami
menceritakannya pada Ibu ini. Tapi ibu lupa, Nak! Nama-nama arab yang rumit itu
membuat ibu sulit mengingatnya. Kalau tidak salah ada sekiranya lima
Guru-gurunya yang terkenal dikala itu. Dan As-Sulami mempelajari ilmu tafsir,
hadis, fikih hingga tasawuf dari guru-gurunya itu. Belakangan itu, ia dikenal
sebagai pakar hadis dan sejarah serta guru para sufi. Dimanapun ia berada:
Nasaibur, Merv, Irak, Hijaz, As-Sulami selalu menulis.
Sejak usia delapan tahun, As-Sulami mendalami hadis bahkan kemudian
meriwayatkannya. Dia belajar hadis dari beberapa guru yang mengarang kitab
tasawuf ‘Hilyatul Awliya’ kepiawaiannya dalam ilmu hadis menjadikan As-Sulami
sebagai rujukan banyak ulama. Banyak! Lebih dari duapuluh yang ibu tak bisa
mengingat nama-namanya. Dengan banyaknya ulama yang merujuk kepada As-Sulami, membuktikan
bahwa mereka yang mengagumi As-Sulami mempunyai kedudukan yang tinggi dalam
ilmu. Bahkan, Abdul Ghafir Al-Farisi berkata: ‘As-Sulami adalah seorang Syekh Thariqat
(Jalan menuju kebenaran dalam tasawuf) yang telah dikaruniai penguasaan
berbagai ilmu Hakekat dan Tasawuf. Beliau telah menulis sekitar 100 kitab
tentang risalah tasawuf yang hebat’ dalam hal tasawuf, As-Sulami mengkaji
kepada penulis kitab ‘Al-Luma fit Tasawuf’dan As-Sulami sering berdiskusi
dengan sahabat-sahabatnya.
Selain dikenal dengan sufi yang besar, As-Sulami juga dikenal
sebagai penulis, penulis kitab yang produktif. Ia menulis ketika masih berusia
duapuluh tahun. Karya-karyanya meliputi sejumlah besar kitab dan risalah hadis
dan tasawuf. Semua karyanya sekarang sebagai tumpuan, rujukan para ulama
diseluruh dunia hingga sampai detik ini.
Sebagian besar dalam masa hidupnya, dihabiskan di perpustakaan
untuk membaca dan menulis. Sampai beberapa bulan menjelang wafatnya pada Tahun
412H/1021M (ketika berusia 87 Tahun), ia masih berkarya. Hari-hari terakhirnya
ia habiskan dengan bersunyi diri di sebuah pertapaan sufi di Naisabur, Iran.
Disana pula ia wafat dan dimakamkan.
Begitulah nak, penuturan Ibu Sulami yang di ceritakan kembali oleh
Sulami kepada Ibu ini. Dan sekarang pula aku ceritakan kembali padamu, Laila Sulami—Anakku.
Oleh karena itu, Sulami juga piawai dalam menulis, dia telah
menyumbangkan banyak tulisan, khusunya berbentuk cerpen yang isinya tentang
kritik situasi ekonomi-politik nasional juga mengenai pergerakan perempuan,
masalah-masalah perempuan, dll. Tulisan yang terkenal saat itu adalah cerpen
yang berjudul Beberapa Pendapat Pengalaman Akan Gerakan Wanita Revolusioner.
Dalam cerpen setengah fiktif ini, Sulami menuliskan hal unik yang dilakukan
dirinya selaku tokoh dalam sebuah Organisasi perempuan dalam rangka membantu
partai untuk menyelesaikan permasalahan para fungsionaris di daerah-daerah yang
melakukan poligami, tanpa harus memecatnya. Sulami menerbitkan tulisan itu dalam
majalah organisasinya, yang bernama Api Kartini. Sulami juga turut serta
menjadi anggota redaksi tersebut, dengan: Maasje Siwi S, S Sijah, Darmini,
Parjani Pradono dan SK Trimurti. Juga turut membantu redaksi: Rukiah Kertapati,
Sugiarti Siswadi, Mr Trees Sunio, Rukmi B Resobowo, Siti Suratih,
Sulistiowarni, Sutarni, Sudjinah dan Sarini.
Setelah mengalami masa-masa mengerikan ditahanan selama delapan
tahun, Sulami baru diadili pada tahun 1975. Sebuah hal yang konyol dan
mengerikan ketika: seorang tahanan dibui dan di siksa selama bertahun-tahun,
baru kemudian di adili. Dalam pengadilan, yang penuh dengan manipulasi, Sulami
divonis bersalah, dan harus mendapatkan hukuman 20 tahun dipotong masa tahanan.
Saat menjalani masa tahanan dijeruji besi, Sulami tidak hanya diam
dalam hanyutan derita dan siksa. Ia kembali menggunakan kemampuannya dalam
menulis. Dan membuat sebuah buku yang berjudul: Perempuan, Kebenaran dan
Penjara (Kisah Nyata Dipenjara Selama 20 Tahun karena Tuduhan Makar dan
Subversi). Buku yang diterbitkan pada tahun 1999—setelah rezim Soeharto
tumbang, menceritakan pengalamannya selama berjuang di era perang kemerdekaan
dan masa pra ‘65, hingga penderitaannya bersama tahanan lainnya di penjara.
Kau tahu, Nak, Orang-orang yang berada di tahanan bersama Sulami
itu adalah orang-orang yang berpengaruh terhadap berdirinya republik ini:
Orang-orang yang pintar—intelektual; orang-orang yang kritis.
Setelah bebas dari penjara, ketika tumbangnya kediktaktoran Orde
Baru, Sulami tak berhenti di medan perjuangan. Bersama dengan kawan-kawan Tapol
‘65 lainnya: Pramoedya Ananta Toer, Hasan Raid, Koesalah Subagyo Toer, Sumini Martono
dan dr.Ribka Tjiptaning, Sulami mendirikan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan
’65/66 di tahun 1999. Yayasan yang diketuai oleh Sulami sendiri tersebut
dibentuk untuk meneliti dan mengungkapkan data korban pembunuhan masal tahun ‘65/66
yang mencapai tiga juta orang itu.
Bayangkan nak! Tiga juta orang dibunuh: disiksa, dipenggal, dibuang
mayatnya kesungai dan pantai. Sungguh ironis sekali, Nak! Mereka itu, seperti
yang Ibu ceritakan tadi: orang-orang yang berjuang melawan penindasan, membantu
kaum tani mendapatkan haknya atas tanah, berjuang terhadap Indonesia dari
Nekolim. Dan banyak jasanya demi terbangunnya rakyat Indonesia yang adil dan
sejahtera. Tapi mati ditangan bangsanya sendiri. Bangsa yang mereka bangun!
Nak! Belumlah tuntas perjuangan Sulami dan kawan-kawannya melalui
YPKP, takdir Tuhan menentukan lain. Sang Perempuan Revolusioner itu harus
beristirahat dari medan perjuangan untuk selamanya. Nak! Seorang pejuang
perempuan itu meninggal dihadapan Ayah dan Ibu. Dia meninggal tahun 2002, di
usia 76 tahun. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Ibu dan Ayah juga
memberitahukan kepada dia bahwa:
‘Sulami, Srikandi Merah, aku memberikan namamu itu kepada nama
anakku. Anakku cantik, sama sepertimu. Walaupun kau sudah menjadi wanita tua,
kecantikanmu itu tak pernah sirna. Juga, aku ingin anakku itu mempunyai jiwa
Revolusioner, sama sepertimu.’
‘Jangan memanggilku berlebihan seperti itu....” suaranya
tersendat-sendat lemah. ‘Aku senang, kau ingin jadikan anakmu itu sebagai
penerus perjuangan terhadap bangsa ini. Ceritakanlah bangsa kita dulu,
ceritakanlah bahwa ada sebuah organisasi wanita yang berjuang untuk melawan
penindasan terhadap kaum hawa Indonesia. Dan ajari mereka untuk membaca dan
menulis. Saya yakin, dengan begitu—mereka yang berilmu dan pendidikan, dapat
mengetahui bahwa di negeri ini ada sebuah pembodohan masal—mereka akan tahu, selama
lebih dari 30 tahun ini, bangsa kita ditidurkan—di nina bobokan oleh rezim Orde
Baru. Butuh belajar dan menunggu waktu yang lama untuk menyadarkannya. Maka
dari itu, beritahukanlah pada anakmu, siapa nama panjangnya?’
‘Laila Sulami.’
‘Laila, sungguh indah nama dari bahasa arab itu.’
‘Benar, Aku ingat darimu—As-Sulami, sang Sufi besar dan penulis
produktif itu. Maka dari itu, aku tambahkan nama berasal dari bahasa arab pada
anakku.’
‘Kau masih ingat rupanya. Kalau kau perkenankan padaku, apa arti
dari nama Laila itu?’
‘Aku tidak akan lupa: dirimu, organisasi Gerakan Wanita Indonesia
Sadar, perjuanganmu, dan si diktaktor rezim Orba itu,’
Ibu tidak menceritakan bagian dari apa arti nama Laila, ketika
bercerita kepadaku tentang sang perempuan Revolusioner itu. Ada yang
disembunyikan, nampaknya ibu tidak mau aku tahu. Laila, seperti yang Ibu
beritahukan dari awal yang berartikan: Malam yang gelap. Malam yang gelap? Aku
berhenti berpikir, dan kembali mendengarkan cerita Ibu dan Sulami—teman Ibu.
‘Jangan kau lupa, jangan sampai bangsa ini lupa dengan sejarah
kelam itu. Kau tahu? Saat aku tak berjumpa lagi denganmu, kala itu aku telah
tertangkap. pada saat di dalam penjara
penuh dengan siksa. Saat penyiksaan tersebut, aku membayangkan bagaimana
pengorbanan rakyat Vietnam yang sedang berjuang mengusir Imperialis, yang
lebih berat dibanding dengan siksa yang aku alami saat itu.’
Dan kata-kata terakhir Sulami pada saat itu adalah begini:
‘pembantaian yang menewaskan jutaan orang pada tahun 1965/1966
tanpa proses peradilan itu adalah tanggung jawab penuh Soeharto, selaku pimpinan militer.’
Begitulah, Nak! Kata-kata terakhir dari perempuan revolusioner yang
tertera dalam nama akhirmu itu. Sulami, seorang perempuan yang disiksa,
dikriminalisasi oleh bangsanya sendiri. Seorang yang berjuang untuk kaum wanita
Indonesia dari segala penindasan, membela kaum tani dan buruh. Menentang dan
menolak budaya feodal dan sistem ekonomi-politik kolonialis dan kapitalis.”
Ibu merapatkan bibirnya, selesailah
cerita dari sebuah nama. tak kusadari, Ayah tengah berdiri, bersandar pada
pintu. Ibu menyeka air mata yang meleleh di pipinya. Kehadiran Ayah, membuatku
kembali ketakutan. Tak diperintah, aku masuk kamar, Bersambung...

0 Kritikan:
Post a Comment