Saturday, February 28, 2015

Laila Sulami, bagian II: Gelora Kebangkitan

Dimalam ini, aku tulis kembali cerita arti sebuah namaku dengan selembar kertas folio, ditulis dengan rapi dengan pena hitam. Kucurahkan segala kata yang keluar dari mulut ibuku dengan halus menari dalam bidang kertas. Yang akhirnya, tugas filsafatku sudah selesai.
Dalam ruang yang sepi ini, entah kenapa aku teringat kembali dengan sosok seorang Kakak laki-laki pertamaku. Belumlah kujumpa denganya semasa hidupku. Hanya sebingkai foto dan serangkaian cerita yang di utarakan oleh ibuku, membuat aku mengenal lebih dekat dengan saudara sulungku itu. Dikamar inilah Kakak-ku memejamkan matanya yang  hanya dalam waktu singkat. Kehidupan Kakak-ku menjadi seorang mahasiswa begitu dekat dengan kehidupan Civitas academica dan pers mahasiswanya.
Kulangkahkan kaki yang kecil ini menuju lemari kakaku. Mencoba mencari serpihan atau secarik kenangan yang membangkitkan kembali ingatanku kepadanya. Kubuka pintu lemari kayu besi yang membuat tanganku mengeluarkan tenaga lebih besar. Nafasku termegap-megap mengerahkan seluruh kekuatan untuk membuka lemari, yang akhirnya bisa terbuka jua. Dalam lemari, kudapati dokument-dokument: bulletin, tabloid dan majalah pers kampus, klipping koran, selebaran-selebaran, dan... buku catatan pribadinya. Kulangkahkan kembali kaki-ku ini menuju tempat tidur dengan membawa dokument-dokument  itu. Butuh dua kali balikan untuk membawa semua dokumen. Satu persatu saya baca dengan seksama. Dan beginilah kisah seorang mahasiswa tahun 1977-1978:
                “Mau kemana lagi kau, Nak!” kata ibuku yang sedang duduk dikursi santai sembari menjahit pakaian, “Baru saja kau datang dari Bandung, dan sekarang kau mau pergi lagi, apa kau tak kecapean?”
            “Maafkan aku, Bunda. Aku tidak bisa berlama-lama dirumah, tidak bisa bercakap-cakap dengan bunda dan keluarga,” aku jongkokan tubuh yang tinggi ini untuk memasangkan kauskaki dan menalikan tali sepatu kets hitam suram, “Aku akan mengunjungi teman-temanku, teman yang kuliah di Universitas Indonesia, aku akan berbagi dengan mereka mengenai situasi politik di negri ini yang semakin kacau dari pemerintahan orde baru yang otoriter,” Aku sembah sujud kepada bunda, meminta restu untuk pamit pergi. Aku pegangi tangan sang ibu, dan kuletakan dahiku diatas kelima jemarinya.
            “Baiklah, Nak. Pergilah sana, kau adalah mahasiswa. Seorang pelajar  memang harus seperti itu,” Ibuku mencium kepalaku yang dibalut dengan rambut yang tebal dan panjang, “Tak usah kau risaukan Ibu dan Ayahmu, bangsa ini butuh pelajar-pelajar sepertimu.”
            Aku tegakan tubuh ini, dan melangkah keluar rumah. Tak kudapati ayahku dirumah, mungkin sedang menggarap sawah diladang.

***
            Sesampainya di kampus UI, nampak mahasiswa begitu ramai beraktivitas. Salahsatunya sedang mengerumuni majalah dinding, membuat hati untuk menghampiri. Banyaknya tulisan-tulisan dari mahasiswa sedang membicarakan pemerintahan orde baru: “Nasib Bangsa dan Negara,” “Perkembangan Bangsa,” “Kehidupan Bangsa,” tulisannya begitu membuat mahasiswa membara.
Ketika serius membaca, disela-sela mahasiswa UI, lengan dan bahu kiri-ku di tarik ke belakang dengan begitu keras dan kencang. Perasaanku sudah semakin tak karuan, dalam hati berkata: sial, Paskopkamtib! Militer sialan. Tak puas kau, setelah peristiwa malari. Sumpah serapah yang banyak aku keluarkan dalam hati terhenti ketika melihat seorang yang menarikku,
“Sial kau, Amri...” menarik nafas dan mengeluarkannya dengan cepat, “Buat aku kaget saja!”
“Achamdi, bagaimana kabarmu? Kenapa kau nampak pucat seperti itu...”
“Aku kira...”
“...Kau masih takut kau dengan militer? Masa mahasiswa takut dengan militer,” Amri mengolok-olok.
“Kau ini, membuat jantungku seperti akan jatuh saja. Memang peristiwa malari dulu membuat mahasiswa tak bisa berbuat apa-apa.”
“Sudahlah, Bung. Semua tahu itu, peristiwa malapetaka limabelas Januari, 1974 membuat mahasiswa mengalami kemerosotan berjuang melawan pemerintahan orde baru..” Amri membawa langkahku bersamanya, “..surat keputusan 028 yang dikeluarkan oleh Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, dr. Syarief Thayeb itu menjadikan sebagai tempurung: mengurung mahasiswa dalam kampus, tidak ada yang berani turun kejalan. Mahasiswa nampak lesu dan seperti kekurangan darah, tidak bergairah. Dan sejumlah pers umum pun di beredel akibat malari itu. Namun, ini kemudian dijadikan kesempatan bagi mahasiswa membuat pers kampus yang mati suri itu. Bukankah kau hadir dalam lokakarya pendidikan pers mahasiswa yang diselenggarakan oleh kampus universitas Brawijaya, Malang. yang dihadiri oleh seluruh penerbitan pers mahasiswa se-Indonesia?”
“Betul, Amri. Aku pun hadir pada saat itu. Memang pertemuan pers mahasiswa tersebut dijadikan untuk memperbaiki diri, meningkatkan kemampuan jurnalistik dan kerjasama antara sesama mahasiswa se–Indonesia. Hal itu pun dijadikan sebagai alternatif sebagai jalan keluar mengatasi kemacetan komunikasi antar mahasiswa. Oleh karen itu, aku datang kemari untuk menemui kau, Amri.”
“Baiklah, Bung. Mari kita diskusikan itu di sekretariat Salemba saja,” Amri membawaku kesebuah ruang kerja pers Salemba, “Ini dia ruang kerja pers salemba, UI. Silahkan masuk, anggap saja sekretariat pers kampusmu.”
Dalam ruang kerja itu nampak sepi, hanya satu orang mahasiswa yang tengah duduk sembari mengetik.
            “Bung, kemarilah,” Amri menunjukan sesuatu, “Ini tabloid Salemba,” kuraih tabloid itu dari tangan Amri, terlihat pada laporan utamanya berbunyi: Sistem pemilu yang demokratis masih harus diperjuangkan.
            “Tampilan tabloidnya sangat menarik, lebih menantang” kataku mengomentari. “Kalau aku boleh tahu, kenapa dinamakan Salemba?
            “Salemba, Saat itu, berdasarkan hasil rapat penasehat ahli, rektor dan para pengasuh. Nama surat kabar itu diberikan berdasarkan romantisme, bahwa peranan kampus UI yang pada awalnya terletak di Salemba telah memberikan catatan-catatan penting dan kontribusi perjuangan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, romantisme juang yang historis itu rasanya perlu diabadikan...”
“Hahaha..” Amri tertawa terbahak-bahak. “Kau, Mad, Achmadi, jauh-jauh dari Bandung hanya sekedar menanyakan romantisme Salemba saja.” Memang, selama sejam kami hanya berbincang mengenai Salemba. “Kau mau buat tulisan mengenai Salemba, Mad?”
“Hmmm,” gumamku. Aku tertawa tanpa membuka mulut.
Salemba memang menarik untuk diketahui dan dipelajari, terutama dari karikatur politiknya. Sebagian besar dari karikaturnya mengenai kebebasan. Apabila dilihat atau dibayangkan dari karikatur tersebut, nampak sang karikaturis menggambarkan sebuah kebebasan dari cengkraman, kebebasan lembaga-lembaga demokrasi dari genggaman otoritas penguasa. Dan hampir semuanya dilukiskan dalam simbol-simbol yang hampir seragam. Penggenggaman kebebasan tersebut dilukiskan dalam simbol-simbol militer oleh sang karikaturis. Dalam karikatur tersebut, nampak tampang serdadu kejam dengan gigi-gerigi kokoh tajam atau bersenjata, serdadu dengan topi baja atau sejenisnya sedang melalap mangsanya: Apakah itu pers, partai politik serta kekuatan-kekuatan politik lainnya yang ketakutan dengan mulut yang terkatup. Atau sepatu lars militer yang kokoh nan keras sebagai simbol stabilitas sedang menginjak-injak kebebasan. Seperti pada karikatur dari tabloid yang saya pegang oleh kedua tangan saat ini,  karikatur yang menggambarkan seorang serdadu bintang satu. Dalam gigi-geriginya yang tajam seperti gergaji, sang serdadu sedang memamah kebebasan pers, demokrasi, kebebasan mimbar, kebebasan berserikat, kebebasan individu dan Freedom and Peace.
 “Baiklah, Amri, kita lupakan sejenak Salemba-mu itu. Mari kita analisis dan rencanakan pergerakan melalui jurnalistik. Sebagai media propaganda untuk menyatukan kekuatan mahasiswa. Karena menurutku setelah peristiwa malari dan SK 028 yang dikeluarkan pemerintah, pergerakan mahasiswa hanya berkutat di sekitar kampus dan pergerakannya tidak masif karena aksi setiap kampus hanya dilakukan di daerahnya masing-masing. Melakukan aktivitas kampusnya sendiri-sendiri, aktivitas antara satu kampus dengan kampus yang lainnya tidak ada hubungannya. Gerakan mahasiswa benar-benar sporadis, terpecah-pecah, tidak terpadu, sendiri-sendiri, bergerak secara lokal dan terisolasi dengan masyarakat luas.  
Kau masih ingat dengan aksi ketika pada tanggal 23-26 Februari 1977 dilangsungkannya rapat kerja Rektor se-Indonesia yang mengharapkan SK 028 itu untuk dicabut, namun yang terjadi hanya semacam proses tawar menawar, bahwa: SK tersebut akan dicabut apabila statuta universitas telah disusun dan mendapatkan pengesahan dari mentri pendidikan dan kebudayaan. Yang akhirnya, di Bandung melakukan ‘Aksi Goro-goro’ karena menurut kalangan mahasiswa, hasil Raker Rektor tersebut belumlah maksimal.”
“Dan pada hari yang sama, di UI pun melakukan Aksi Poster.”
“Pada tanggal 9 juli 1977, Mahasiswa Jakarta berteriak di jalanan mengajukan protes kenaikan tarif bus kota. Mahasiswa melakukan poling pendapat mewawancarai masyarakat yang menggunakan jasa angkutan bus umum dan mahasiswa mendatangi pol-pol bus kota menahan kendaraan umum untuk tidak beroperasi keluar...”
“Karena pemerintah hendaknya mengalihkan subsidi yang selama ini dialokasikan untuk mobil-mobil dinas para pejabat dialihkan kepada bus-bus kota yang menyangkut kepentingan rakyat banyak,” menurut seseorang yang menyambar disela-sela cakapku. Yang tak lain dia adalah Dinar Simbolon, seorang aktifis perempuan dari Suku Batak. Kemudian, dia duduk disampingku ikut dalam diskusi.
Amri                 : Mahasiswa Surabaya lain lagi, mereka melakukan aksi protes
  Kepada DPRD dan walikota.
Achmadi           : Aku belum dengar aksi mahasiswa tersebut.
Dinar                : Aksi tersebut terjadi akibat kerusuhan dari penggusuran pedagang
  kaki lima.
Achmadi           : Dan mahasiswa yogyakarta, Medan dan Ujungpandang masing-
  masing membawa persoalan kedaerahan masing-masing dan sendiri-
  sendiri.
Amri                 : Lantas, apa yang akan kita lakukan untuk mempersatuka gerakan
  mahasiswa?
Achmadi           : jalan satu-satunya untuk menyatukan gerakan mahasiswa adalah dengan   
  mempersatukan gerakan mahasiswa secara simultan, nasional dan terpadu.
Dinar                : Hebat juga mahasiswa Bandung ini, gagasannya sangar revolusioner.
Amri                 : Jadi, yang kita perlukan adalah berkumpulnya semua mahasiswa untuk
  berdiskusi, dan mendapatkan pandangan yang sama, kemudian bergerak
  bersama. Begitukah, Mad?
Achmadi           : Betul, Bung.
Dinar                : Bagaimana caranya kita agar dapat mengumpulkan begitu banyaknya
  mahasiswa, Mad? Belum lagi ketatnya penjagaan kampus oleh militer.
Ahcmadi           : Tenang, tak usah risau seperti itu. Aku dan Dewan mahasiswa/senat   
  mahasiswa se-Bandung sudah memikirkannya. Jadi, pada tanggal 24-26
  Oktober 1977 kita akan mengadakan pertemuan dan mengundang mahasiswa
  nasional dengan dalih bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda 28
  Oktober. Dalam acara tersebut, saat pendahuluan di isi dengan seperangkat  
  diskusi yang mengundang berbagai tokoh nasional, dalam bidang berbagai
  kajian yang dipandang mempunyai relevansi dengan konteks permasalahan
  yang sedang dihadapi negara dan masyarakat. Bagaimana?
Amri                 : Sepakat, Bung. Salemba akan terus menyeruakan perjuangan mahasiswa.
Achmadi           : Harus, karena menulis adalah budaya mahasiswa dan persma sebagai media
  propagandanya. Baiklah, diskusi ini kita cukupkan sampai disini, aku juga
  akan bergegas ke persma kampus-kampus lain: Gelora Mahasiswa (UGM),
  Atmajaya (Unik Atmajaya), Derap Mahasiswa (IKIP Yogyakarta), Arena
  (IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta),  Airlangga (universitas Airlangga,
  Surabaya), dan kampus-kampus lainnya.
Dinar                : Hari sudah malam, menginap dulu-lah. Aku khawatir dijalan, ini
  Jakarta. Razia mahasiswa terus berjalan hingga saat ini. Tak kau
   lihat rambut gondrongmu itu?
Achmadi           : Terimakasih, Dinar, lainkali saja. Aku harus secepatnya
  mengabarkan hal ini ke kampus-kampus lain. Doakan saja agar baik-
  baik dalam perjalanan juang ini.
            Bergegaslah aku menuju kampus-kampus lain, dengan memberikan pemahaman mengenai gerakan mahasiswa seperti yang aku ceritakan pada persma Salemba, UI. Memang aku ditugaskan dari Bandung atas DM/SM untuk menggalang kesadaran kebersamaan mahasiswa nasional. Sebelum gagasan ini dibuat, mahasiswa Bandung membuat proposal  rencana pertemuan dengan nama ‘Gelora Kebangkitan 28 Oktober 1977’ dengan latar belakang pemikiran, bahwa: kehidupan bernegara pada umumnya bertujuan untuk mencapai kesejahteraan secara bersama-sama. Perlu adanya jaminan guna berjalannya sistem sosial, politik dan ekonomi secara baik sesuai dengan cita-cita bersama. Yang dalam kenyataannya masih banyak dijumpai kekurangan-kekurangan di bidang sosial, politik dan ekonomi. Bahkan sulit untuk mewujudkan cita-cita bersama dalam konsesus UUD 1945.
            Dalam hal ini, masih saja terjadi pemerkosaan atas demokrasi, kebebasan berpendapat dan hak-hak politik warga negara. Adanya kecenderungan pihak eksekutif untuk menekan kehidupan badan-badan legislatif dan kacaunya tata tugas lembaga-lembaga negara. Dalam bidang sosial, dijumpai problema-problema seperti Neofeodalisme, manipulasi jabatan dan macetnya pelaksanaan hukum. Sedangkan di bidang ekonomi, kita dihantui oleh masalah-masalah pemerataan pendapatan, rongrongan terhadap aktifitas ekonomi rakyat kecil dan penindasan oleh modal-modal besar, yang kesemuanya mewujudkan kemelaratan dan kelaparan. Ini merupakan tantangan bagi pemuda-pemudi Indonesia untuk memberikan penyelesaian yang tuntas.
Memang di satu pihak tantangan kepada pemuda-pemudi itu demikian besar, tetapi dilain pihak perlu dipertanyakan sudahkah kita miliki kesadaran nasional yang cukup dan sudahkah ada keberanian di antara pemuda-pemudi Indonesia untuk menjawab tantangan tersebut. Sungguh ironis bahwa api yang pernah dikobarkan oleh kebangkitan nasional, sumpah pemuda, semangat proklamasi dan amanat penderitaan rakyat kini telah padam.
            Begitulah semangat Mahasiswa yang telah memanggil untuk mengembalikan wajah Indonesia dengan bercermin kepada cita-cita idealisme UUD 1945. Tanggung jawab pemuda-pemudi Indonesia dengan mahasiswa sebagai bagian yang terpenting, dan tanggung jawab ini mengharuskan memiliki sikap kritis dan peka terhadap keadaan lingkungan, pengabdian masyarakat dalam berpartisipasi pada bidangnya masing-masing, dan selalu menitik beratkan perjuangan kepada aspirasi rakyat dan cita-cita bangsa.
            Oleh kerena itu, apabila dirasa dalam masyarakat telah terjadi hal-hal yang menyeleweng dari aspirasi rakyat dan cita-cita nasional, maka mahasiswa berkewajiban untuk meluruskan sesuai dengan cita-cita bangsa dalam UUD 1945 hingga tercapai dengan cara-cara yang dimungkinkan. Satu keharusan bahwa dalam melakukan perjuangan, mahasiswa selalu berjalan bersama. Seperti halnya dengan sumpah pemuda yang merupakan satu simbol persatuan di antara pemuda-pemudi Indonesia  sebagai titik tolak bagi Indonesia untuk mengusir penjajahan dengan segala manifestasinya. Oleh karena itu, jika saat ini masih terdapat manifestasi lain dalam bentuk penindasan, kematian hak-hak warga negara dan kemelaratan, mengapa kita harus lupakan Sumpah Pemuda yang pernah kita ucapkan pada tanggal 28 Oktober 1928.
            Saat seperti ini, sudah tibalah bagi pemuda-pemudi Indonesia untuk berada dalam konsepsi perjuangan bersama dalam mewujudkan cita-cita berupa Bhineka Tunggal Ika, terpisah-pisah dalam satu tujuan.
Tujuan pertemuan Bandung yang akan diselenggarakan pada tanggal 24-26 Oktober 1977 untuk menciptakan kebersamaan dan kebersatuan mahasiswa dalam melihat dan merumuskan permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini, sebagai satu simbol perjuangan bersama.

***
            Tibalah pada waktu pertemuan, hari pertama tanggal 24 Oktober 1977. Tamu undangan dari perwakilan kampus UGM, Atmajaya dan kampus dari luar Pulau Jawa sudah datang sedari malam. Tinggal menunggu yang lainnya. Memang acara pertemuan ini dimulai pada pukul 14.00 untuk panel diskusi I dengan topik: “Situasi dan Kondisi Politik Indonesia Dewasa ini” sekarang sudah pukul 12.00. Lirikan bola mata ini tak mau berhenti, kehadiran mahasiswa UI belumlah datang jua. Aku berharap sekali, Amri agar hadir dalam pertemuan ini.
            Sejam kemudian, datanglah rombongan yang diketahui dari perwakilan kampus-kampus Yogyakarta dan Surabaya. Dan tamu undangan sudah memasuki ruangan yang sudah disediakan panitia penyelenggara pertemuan Bandung. Aku masih tetap menunggu di depan kampus, berharap mereka—Dinar—perempuan marga Suku Batak, alasan mengapa aku masih menunggu dan berharap datang. Perpisahan kala itu, membuatku teringat-ingat karenanya. Seorang aktivis perempuan berjuang melawan tiran, membuatku menyukai sosok perempuan yang idealis itu. Kekhawatirannya kepadaku kala itu menyentuh hati, dengan suara lembut halusnya memberikan pandangan berbeda dengan sosok aktivis yang militan. Dinar mengingatkanku kepada cerita-cerita Ibu tentang perempuan-perempuan yang berjuang melawan penindasan. Merekalah manusia hebat, selain mengurusi rumah: masak dan mencuci, namun tetap berjuang menuntut hak-haknya. Pengecutlah bagi laki-laki yang hanya diam ketika ditindas tiran dan bukanlah manusia apabila tidak ingin melakukan pekerjaan yang berat—pekerjaan yang bermanfaat untuk masyarakat sekarang dan dihari depan. Apapun resikonya, mekipun nyawa jadi taruhannya.
            “Mad, mengapa melamun di depan kampus?” suara Amri yang datang dari samping menyadarkan dari pikiranku yang sedang melayang di dalam bawah sadar.
            “Amri, lama sekali kau datang?” kulihat arloji dilengan.
            “Maaf, Mad, aku terlambat karena banyak pekerjaan di kampus yang belum selesai. Aku sedang menggarap tabloid Salemba.
Mataku mulai melirik-lirik tanpa arah, seseorang yang aku tunggu tidak nampak. Hati ini mulai lesu, kecuali semangat juang yang terus berapi.
“Kau datang sendiri, Amri?”
“Tidak, aku datang dengan teman-teman UI dan Dinar juga.”
Hati ini bertambah besar berkobar, mendengar nama Dinar yang di ucapkan dari mulut Amri.
“Dinar? Kemana dia.”
“Dia sudah masuk bersama teman-teman yang lain. Kau sendiri bagaimana, mari kita masuk, acara akan segera dimulai.”
Dalam panel diskusi pertama dengan topik: “Situasi dan Kondisi Politik Indonesia Dewasa ini” dalam pokok pembahasannya mengenai permasalahan: pertama, perbandingan sejarah dari mekanisme sosial politik demokrasi dalam kedaulatan rakyat dan hak, wewenang dari lembaga-lembaga demokrasi. Kedua, persoalan-persoalan apa saja yang akan dihadapi sekarang dan yang terakhir mengenai harapan-harapan kita untuk masa yang akan datang dalam kehidupan politik.
Dalam panel diskusi pertama ini berjalan selama sembilan jam, berakhir pada pukul 23.00. Semua peserta pertemuan Bandung memasuki ruang istirahat yang telah disediakan panitia. Langkah tengah sibuk mencari, diantara banyaknya mahasiswa peserta pertemuan, sulit untuk menemukan. Kuterus mencari dengan sorotan mata tajam melirik setiap wajah mahasiswa. Tidak ada! Kemana? Kucoba bertanya,
“Kawan, kau lihat mahasiswa dari UI?” kataku kepada seorang mahasiswi dari Surabaya.
“Entahlah, Bung. Mungkin masih di dalam ruang pertemuan.”
“Baiklah, terimakasih.”
Langkahku memasuki ruang pertemuan, nampak mahasiswa-mahasiswi UI tengah bercakap dikursi membentuk lingkaran. Entah apa yang mereka diskusikan. Kucoba menghampiri, salah-satu diantara mereka melihatku kemudian mengangkat badan meninggalkan percakapan dan satu-persatu diantara mereka mengikutinya. Hanya Amri dan Dinar masih dalam posisi duduk. Amri menoleh kebelakang—kearahku, dan mulai angkat bicara.
“Ai, Bung...” Amri melambaikan tangan, dan Dinar melihatku. “...Tadi siang kau menanyakan Dinar, ini dia orangnya,” Amri mengangkat badan, Dinar merundukan wajah dan tersenyum kecil. Amri melangkahkan kakinya menghampiriku dan tangan kanannya memegangi punda kiriku. Seraya berbisik dengan mulut disamping telingaku dia berkata, “Aku masuk ruang istirahat dulu, kau temanilah Dinar,” Amri meneruskan langkahnya keluar ruang pertemuan.
Aku duduk disamping kursi Dinar yang tengah menatap kedepan mimbar. Membutuhkan sedikit waktu untuk aku angkat mulut, bercakap dengan Dinar. Yang akhirnya, Dinar yang terlebih dahulu angkat bicara,
“Tadi siang kau mencariku, Mad,” katanya dengan suara yang pelan dan halus.
“Betul, aku menunggu kehadiran teman-teman UI di depan kampus...” kataku tergegap-gegap. “... Bagaimana Diskusi hari pertama ini?” aku mengalihkan pembicaraan, tak mau aku mempersoalkan tadi siang dengan keadaan gugup seperti ini.
“Memang dewasa ini Indonesa tengah menghadapi situasi sosial politik ekonomi yang amat rumit. Kemelut yang melanda atas penyelewengan kekuasaan yang telah menghianati Undang-undang 1945 dan Pancasila Kerap terjadi di pelosok daerah Indonesia. Dan kemudian, ...” aku menatap wajah Dinar yang tengah serius membicarakan tentang negara. Bibir yang tipis menari dan menyanyi menyuarakan perjuangan bangsa. Aku tak habis pikir, perempuan yang secantik ini dapat memikirkan sebuah perjuangan yang belum tentu seorang lelaki melakukannya. Aku hanya diam mendengar, tidak berkomentar. Sampai pada akhir pembicaraan, Dinar nampak lelah mengantuk. Kedua tangannya menyeka wajahnya, dan menutup mulut saat menahan uap yang keluar.
“Sepertinya kau mengantuk, Dinar,”
“Ya, mungkin. Sebaiknya kita istirahat saja.”
“Baiklah, esok kita lanjutkan kembali. Karena sekarang sudah larut malam, pagi-pagi kita sudah mulai pada panel diskusi yang kedua.” 
Aku dan Dinar membangkitkan badan dari kursi dan meninggalkan ruang pertemuan. Kuantarkan Dinar menuju ruang istirahat perempuan, dan aku pun pergi menuju peristirahatanku.
***
           
            Bandung, 25 Oktober 1977,
            Pagi ini nampak cerah, bias cahaya mentari menyinari ruang pertemuan. Walaupun pagi ini sangat cerah, Bandung tetap saja dingin. Mahasiswa se-Indonesia mulai memasuki ruang pertemuan. Tepat pukul jam delapan acara akan dimulai, dengan topik: “Situasi dan Perkembangan Ekonomi Indonesia Dewasa ini.” Seorang pembawa acara perempuan dengan memegang secarik kertas menghentakan suara dari mulutnya menandakan panel diskusi II dimulai.
            Dalam diskusi kali ini membahas: bagaimana perbandingan sejarah dari kebijaksanaan dan pola-pola dasar ekonomi kita, kedudukan azas kekeluargaan dalam pola pemikiran pengetahuan ekonomi modern yang kini kita terapkan, dan harapan-harapan tentang kehidupan sosial dimasa mendatang..
            Di Orde Baru ini, strategi ekonomi Indonesia menganut mahzab “Trickel down effect” dalam teori ekonomi disebut menetes ke bawah. Paradigma Trickel down effect ini melandaskan pada asumsi bahwa terakumulasi kapital dan kekayaan dalam jumlah besar, lambat laun akan menetes pada lapisan bawah.
Dari kampanye penanaman modal yang dilansir pemerintah melalui Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) sejak awal tahun 1970-an, mengalirlah para pemodal untuk memanfaatkan kesempatan emas dalam memperebutkan peluang yang ‘bermurah ramah’ dari pemerintah Indonesia. Penerapan kebijaksanaan ekonomi yang untuk menarik modal itu, tentu segera mengubah suasana Indonesia menjadi negri yang membangun. Lahir industri macam-macam yang penuh dengan proteksi pemerintah dan  berbagai praktik monopoli.
            Konsentrasi aset dan modal pada usaha-usaha besar, akhirnya hanya akan memberikan kesempatan yang makin berkembang bagi para pemodal raksasa. Dan setelah kekayaan terkumpul pada beberapa gelintir orang, mana mungkin dibagi ramai-ramai atau terdistribusikan kepada rakyat yang masih dihimpit oleh kemiskinan struktural tanpa harus mengubah pola dasar kebijaksanaan ekonomi makro. Oleh karena itu, di Orde Baru ini, pembangunan itu untuk siapa? Jangan harap akan terjadi tetesan, merembes pun bagaikan sebuah mimpi.      Pembangunan itu diarahkan  ke dunia kapitalis yang sangat menguntungkan kaum pemodal, dan makin memperparah posisi golongan ekonomi lemah.
Diskusi kedua ini berakhir pada pukul satu siang. Yang kemudian peserta pertemuan beristirahat sejenak dan melanjutkan kembali pada panel diskusi yang ke III dengan topik: “Situasi Perkembangan Sosial Indonesia Dewasa ini” dimulai pukul jam dua siang.
Dalam panel diskusi ini, cukup banyak perdebatan yang sangat sengit mengenai korupsi, skandal, kemewahan, pemborosan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Dan peserta pertemuan ini, ingin mempermasalahkan sekitar hal-hal mengenai undang-undang perlindungan usaha kecil, praktik kapitalisme yang tidak pada tempatnya, pembangunan ekonomi yang terhindar dari korupsi, pemborosan dan monopoli, kesewenang-wenangan dan sebagainya. Dalam hal ini, peserta menyimpulkan bahwa: perlunya diadakan perubahan strategi pembangunan yang sekarang dilaksanakan menjadi strategi pembangunan yang lebih mengutamakan sifat kerakyatan dan manusia seutuhnya yaitu melalui pendekatan pendidikan dalam arti seluas-luasnya.
Tepat pukul sembilan malam, acara diskusi yang ke tiga sudah berakhir. Dan dilanjutkan dengan sesi Pandangan Umum dalam Sidang Pleno. Yang kemudian selesai pada pukul 24.00. dua hari sudah diskusi dalam pertemuan mahasiswa se-Indonesia ini berlangsung. Dan sesi terakhir dalam acara ini tinggal menunggu esok hari dalam Perumusan Permasalahan. Esok adalah hari penentuan bagaimana gerakan mahasiswa ini menjadi masif. Dan dapat menyuarakan perjuang dalam pembebasan bangsa dari tiran, Bersambung...


Tuesday, February 17, 2015

Laila Sulami, bagian I: Perempuan Revolusioner

“Nak, Laila, bangun Nak!! Bukankah Hari ini kamu masuk kuliah? Nak, Bangun!!” Ibu menarik selimut dan menggoyang-goyangkan tubuhku yang malas ini dengan kedua tangannya. “Sudah jam tujuh pagi, kau tidak mengindahkan kewajibanmu terhadap Tuhan—kau tidak solat subuh, ingat! Kau sudah dewasa, Nak!” entah sudah berapa kalimat kata-kata rujukan Ibu kepadaku untuk mencoba membangunkanku.
“Anak tak tahu di untung! Pukul saja dia, Bu. Biar sadar dari tidurnya! Jangan kau manjakan dia, Bu!” suara Ayah yang menggeram-geram, menggetarkan jantung bagi yang mendengarnya. Saya pun terbangun dari raungan suaranya. Tampak ayah sedang duduk membaca koran, terlihat di ruang tamu berada di samping kamar tidurku. Asap rokok keretek menggumpal di depan wajahnya, rokok yang di apit kedua jarinya dia tusukan ke asbak yang sudah penuh dengan pentung, dan dia lipat koran, kemudian membantingkannya ke kemeja. Sehingga, gelas yang berisi kopi hitam itu terguncang, airnya membasi taplak meja “Tak pantas, kau Laila, seorang gadis bangun sesiang ini. Cepatlah kau bersihkan badanmu dan carilah ilmu.” Gertakan Ayah membuat saya terperanjat.
Saya bergegas menuju kamar mandi meninggalkan ibu di kamar. Setelah itu, saya kenakan pakaian kebesaran Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Hari pertama saya kuliah di jurusan Administrasi Negara, mungkin akan telat. Saya lihat jam berada dilengan menunjukan pukul delapan, sedangkan menuju kampus membutuhkan lebih dari sejam waktu perjalanan: menaiki dua kali kendaraan umum, dan berjalan kaki terlebih dahulu, sekiranya satu kilometer untuk sampai pada jalan raya. Rumahku memang jauh dari keramaian perkampungan—terpencil, entah kenapa orangtuaku memilih tempat rumah yang jauh dari mana-mana ini.
Sesampainya di kampus, saya lihat kembali jam pada lengan kiri, jam setengah sepuluh. Padahal jam kuliah dimulai pukul sembilan. Aduuuh! Saya tutup wajah dengan kedua telapak tangan. Saya nampak gugup untuk memasuki ruangan kelas, detak jantung berdegup kencang. Kaki-ku enggan melangkah, seperti tertahan tanah. Tersirat dalam benak hati: apa yang akan terjadi? Apakah dosen akan marah? Atau teman-teman akan menertawai-ku? Terlihat dalam bias pintu kaca, dosen yang berbadan gemuk itu sedang berbicara di depan dalam kelas, membuat saya semakin gugup. Saya ketuk pintu kaca dengan kepalan tangan tiga kali, kemudia saya dorong kedepan, setelah itu saya masukan kepala saya.
“Permisi, Maa..” saya lihat dalam kelas, hanya lima orang. Lima mahasiswa! Kemana yang lainnya? Bukankah saya terlambat setengah jam! Saya masukan tubuhku dalam ruang kelas, dan melangkah “Maaf, saya terlambat!” ucapku, terengah-engah kecapean.
“Silahkan duduk” jawab pak dosen mata kuliah filsafat. “Siapa namamu?” belumlah saya duduk dikursi, dosen itu memanggil.
“Namaku Laila, Laila Sulami, Pak!” saya dudukan pantatku ke kursi, dan mengambil alat tulis.
“Dimana rumahmu? Melihat keringat di keningmu, Nampaknya rumahmu jauh sekali.”
“Kalabor Patana. Perbatasan dengan hutan konservasi, Pak!”
“Baru saya dengar derah itu,” dosen itu nampak bingung, terlihat tangannya menggarukan kepala. “Baiklah, kita mulai lagi, sampai mana kita?”
“Definisi filsafat, Pak!” sahut seorang laki-laki disamping kursiku.
“Iya, siapa yang tahu apa itu filsafat?” senyap,  tidak adak yang menjawab.
“Etimologi filsafat..” dosen melanjutkan “ Dalam bahasa Indonesia, merupakan kata serapan dari bahasa Arab: Falsafah. Yang juga diambil dalam bahasa Yunani: Philosophia. Apa itu Philosophia? Adalah kata majemuk yang berasal dari kata-kata (philia: Persahabatan, cinta dsb). Dan (sophia: kebijaksanaan). Sehingga, arti harafiahnya adalah seorang pencinta kebijaksanaan.....” Suara dosen yang keluar dari mulutnya membuat saya bingung. Kata-katanya saya tak mengerti, bahasa yang baru saya dengar di telinga. Mata kuliah filsafat, pelajaran pertama masuk kuliah, sebagai mahasiswa. Mahasiswa!
Tiba-tiba, seorang laki-laki masuk ruangan. Rambutnya panjang, berkumis tipis, mengenakan kemeja kotak-kotak putih-biru. Masuk tanpa permisi dan duduk tanpa dipersilakan. Tidak membawa tas! Siapa dia? Dia menengok ke samping, menuju pandanganku yang sedang memperhatikannya. aku palingkan muka kedepan, kearah dosen berada. “...Jadi, filsafat itu adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Contoh sederhana: apa arti dari nama kalian? Ada yang tahu?” bola mata dosen itu melirik dengan bantuan leher yang digerakannya perlahan. Tidak ada yang menjawab, dan tidak ada yang mengacungkan tangan. Dan tepat di hadapanku, lirikan mata sang dosen berhenti.
“Kau, Laila, apa tadi nama panjangmu?”
“Laila Sulami, Pak” jawabku
“Tahu kau apa arti dari namamu itu?” semua mahasiswa menatapku.  Begitu pula dengan laki-laki itu, tersenyum melihatku, menunggu jawaban yang keluar dari mulutku.
“Tidak tahu, Pak!” dosen itu melihat jam pada lengannya.
“Baiklah, kuliah untuk saat ini kita cukupkan. Tugas kalian adalah mencari tahu arti dari nama kalian sendiri.”
Selesailah Mata kuliah pertama. Selanjutnya, ada tiga mata kuliah yang akan  kupelajari hari ini. Dihari pertama masuk sebagai mahasiswa, aku berkenalan dengan teman-teman sekelas. Tanpa terkecuali dengan lelaki misterius itu, entah kemana setelah selesai kuliah filsafat.
Dosen mata kuliah terakhir tidak ada, dosen mata kuliah Bela Negara/Kewiranegaraan. Yang akhirnya, Karena tidak ada kegiatan lain,  saya pulang lebih awal.
Setibanya di depan rumah, Ayah sedang menyabuti rumput di pekarangan. Merasa aneh, nampak melihat kepadaku penuh keheranan.
“Hey! Kau bolos kuliah? Dasar kau! Ayah kuliahkan kau, bukan untuk main-main,” suaranya membuat saya takut. “Masuk kau ke rumah.”
Saya berlari ke dalam rumah dengan kesal. Terdapati Ibu sedang bersantai di lantai.  
“Ada apalagi, Ayahmu berteriak-teriak? Kenapa kau, nak, pulang begitu cepat?” Tanya ibuku keheranan.
Saya duduk disamping ibu, dan mulai bercerita. Tentang: kampus, masuk kuliah terlambat, dosen, teman-teman, kenapa saya pulang cepat dan ... menanyakan tentang arti dari namaku.
“Hmmm...arti dari namamu, ya?” bola mata Ibu yang coklat kemerahan itu menengok ke atas, mengingat-ingat dan Ibu mulai bercerita. “Laila Sulami. Laila itu artinya malam yang gelap.”
“Lalu, Sulami?” selaku.
“Sulami...” nampak airmuka ibu berkaca-kaca. Ibu diam sesaat, wajahnya semakin memucat.
“...Sulami adalah nama dari teman Ibu, dia juga yang mempertemukan Ibu dengan Ayahmu . Seorang perempuan Revolusioner. Seorang yang berjuang melawan akar penindasan terhadap perempuan. Dia adalah Wakil Sekjen dari organisasi Gerakan Wanita Indonesia Sadar, organisasi wanita pertama di indonesia. Dengan organisasinya, dia berjuang untuk wanita indonesia dari belenggu penindasan, dan organisasi itu menyikapi tentang: penolakan poligami, menolak perkawinan dibawah umur, menolak kekerasan seksual terhadap wanita serta memperjuangkan hak waris bagi wanita. Bahkan, Sulami ikut memanggul senjata untuk membela kemerdekaan Republik Indonesia pasca Proklamasi 17 Agustus 1945.
Tidak hanya itu, organisasi kaum hawa itu menolak keras mengenai budaya feodal dan sistem ekonomi-politik kolonialis dan kapitalis. Dia—Sulami, yang kini terdapat dalam namamu itu, adalah seorang wanita yang berideologikan kiri. Organisasi yang berdiri sejak tanggal 4 Juni 1950, aktif dalam kampanye dan aksi-aksi menuntut pembatalan hasil Konferensi Meja Bundar, menentang kembalinya modal asing dan mengutuk peristiwa reaksioner peristiwa 17 Oktober 1955 (upaya sejumlah perwira AD mengkudeta Bung Karno dan membubarkan parlemen). Dari keteguhan hatinya untuk memperjuangkan hak-hak wanita indonesia, dia terpilih sebagai wakil dari indonesia dalam kongres wanita sedunia di Wina, Austria.
Pada tahun 1954, Organisasi wanita ini bergabung dengan partai merah, partai yang pertama mengenakan kata Indonesia, jauh sebelum indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Jelas, partai ini mendukung dan memperjuangkan hak-hak wanita dari penindasan. Partai pertama yang memperjuangkan hak wanita.
Selain poligami dan isu-isu kewanitaan, spektrum organisasi ini pun meluas. Sulami dengan organisasinya itu aktif dalam program Pemberantasan Buta Huruf (PBH) dan melakukan pendidikan usia dini, dengan nama: taman kanak-kanak melati, yang tersebar di berbagai pelosok daerah. Memang, organisasi ini memiliki tujuan untuk memajukan kesejahtraan perempuan dan anak-anak melalui pendidikan. Tidak hanya itu, organisasi ini juga membantu kaum tani, dalam mempertahankan hak-hak atas tanah dari pencaplokan aparat negara dan perusahaan perkebunan. Seperti pada kasus: Tanjung Morawa, Sumatra Utara (1955) dan kasus jengkol di Kediri (1957) dan masih banyak lagi yang Sulami lakukan di daerah-daerah untuk memperjuangkan Reformasi Agraria demi tercapainya kesejahteraan rakyat. Dalam kasus agraria itu, bersama partai merah, Sulami dan oraganisasinya itu ikut turun ke lapangan, berjuang dengan kaum tani dalam perlawanan untuk mendapatkan hak-hak rakyat atas tanah yang terampas.
Ingat! Jauh daripada itu, Sulami dan organisasinya ikut serta dalam menyikapi isu Nasional. Seperti halnya dengan kampanye untuk pembebasan Irian Barat, ikut melakukan politik konfrontasi Bung Karno, terhadap Malaysia. Ikut serta mendukung perjuangan nasional melawan Neokolonialisme, seperti yang di serukan Bung Karno kala itu. Seperti dengan partai merah juga, organisasi Sulami berdiri di belakang Soekarno dalam rangka mengganyang Nekolim. Walaupun! Organisasinya dicibir oleh organisasi lain sebagai ‘tutup mata’ terhadap poligami Soekarno. Akan tetapi, tidak meruntuhkan prinsip dalam menyerukan menentang poligami, karena kala itu—kontradiksi dari perlawanan rakyat Indonesia adalah melawan Nekolim.
Nak! Sulami itu mempunyai paras yang cantik. Kamu yang secantik ini, kalah dengan kecantikannya. Ibu pun menyadari semua itu. Namun, dengan kecantikannya itu, serta tutur kata yang sopan dan santun, juga kebaikan hatinya, ia gunkaan untuk menarik hati rakyat. Sehingga Sulami dan organisasinya itu pernah memobilisasi 15.000 wanita ke Istana Negara, saat peringatan Hari Perempuan Sedunia—1 maret 1961, menentang pembentukan boneka papua oleh kolonialis Belanda. Dan aktif mendukung gerakan buruh untuk menasionalisasi perusahaan asing, terutama perusahaan milik belanda. Langkah ini sekaligus upaya pemerintah Bung Karno untuk melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial. Dalam kampanye nasionalisasi terhadap perusahaan minyak Caltex. Sulami dan SOBSI menggalang pembantu rumah tangga untuk memboikot majikan mereka. Aksi itu meluas ke restoran dan toko-toko untuk menolak orang asing.
Berlanjut pada tahun 1960-an, Sulami menggerakan organisasinya untuk berkampanye akan ketersediaan pangan dan sandang bagi rakyat. Tak hanya itu, dia juga melakukan aksi demonstrasi untuk menentang kenaikan harga bahan pokok. Salah satu aksi demonstrasi yang besar digalangnya untuk menolak kenaikan harga yang terjadi pada tahun 1960. Sehingga, Bung Karno merespon aksi tersebut dan berjanji akan menurunkan harga dalam tiga tahun.
Di desa-desa, Sulami giat bekerjasama dengan Barisan Tani Indonesia untuk membela dan memperjuangkan hak-hak kaum tani, seperti: hak atas tanah, pembagian hasil panen yang adil, dll. Juga sering Sulami menggelar kursus dan penelitian bagi perempuan tani di desa-desa. Serta aktif memperjuangkan dilaksanakannya UU Pokok Agraria 1960 dan UU perjanjian Bagi Hasil.
Banyak sekali nak! Banyak! Jasa-jasa Sulami dan organisasinya itu membantu rakyat Indonesia. Bahkan ibu hampir lupa, Sulami juga aktif memperjuangkan hak-hak buruh perempuan. Sehingga, dulu—Pada tahun 1950-an, Sulami berhasil mendesak Kongres Wanita Indonesia untuk mengadopsi piagam hak-hak perempuan, yang di dalamnya ada bab khusus tentang hak buruh perempuan, seperti: hak yang sama anatara laki-laki dan perempuan dalam memasuki semua pekerjaan dan promosi jabatan, kesetaraan upah, dan penghapusan segala bentuk diskriminasi di tempat kerja. Dengan Organisasinya, Sulami bersama SOBSI juga kerap menggelar aksi bersama: menuntut upah yang sama, cuti menstruasi dan hamil, hak perempuan mendapat promosi dan perlakuan yang sama di tempat kerja.
Setelah itu, Sulami dan Organisasinya mengalami masa-masa sulit dalam medan perjuangan. Sebuah malapetaka bagi Sulami dan organisasinya, dimana hal itu terjadi pada saat peristiwa gerakan satu Oktober. Sebuah pukulan balik dari kaum kontra-Revolusi yang gerah dengan perjuangan Organisasi Sulami. Kemudian, bersama partai merah, dan seluruh ormas yang beraliran kiri itu di tumpas oleh militer/Angkatan Darat didikan Soeharto bersama milisi-milisi sipil binaannya. Sulami, sebagai Wakil Sekjen Organisasi Wanita Indonesia Sadar. Dia menjadi target sasaran militer untuk di tangkap. Dalam hal ini, Sulami, harus hidup ‘nomaden’ selama 15 Bulan. Dalam pelariannya itu, dia masih sempat menjadi anggota panitia pendukung komando presiden Soekarno, sebagai loyalitasnya dalam mendukung sang proklamator disaat semakin masifnya aksi-aksi demonstrasi anti Bung Karno dan Anti golongan kiri. Di persembunyian—dalam perlarian, Sulami menerbitkan buletin bernama: Pendukung Komando Presiden Soekarno.
Namun, pelariannya berakhir pada Bulan Februari 1967. Sulami ditangkap militer atas perintah langsung Panglima Kodam Jaya Amir Machmud. Sulami dijebloskan ke tahanan Bukit Duri, Jakarta Selatan. Dari sejak itulah, Ibu dan Ayahmu tak bertemu dengannya lagi.
Dalam penjara, Sulami kerap disiksa dan diperlakukan tidak senonoh oleh aparat. Yang menyebabkan Sulami menderita sakit dari siksa fisik dan juga psikis. Dia di perlakukan seperti itu, dimana saat kala itu dia dan organisasinya sedang memperjuangkan dan melawan atas penindasan wanita. Penyiksaan itu dirasakan juga oleh kader-kader partai merah dan soekarnois pada masa yang sama....” air mata ibu membasahi baju, jatuh meleleh dari mata coklat kemerahannya itu. Bersedu, mendesah. “...Kau tahu, Sulami—Anakku, kenapa dia—Sulami, bernamakan seperti namamu? Dulu Ibu menanyakan langung kepadanya, percis seperti kamu—anakku, menanyakan arti nama Sulami Kepada Ibu. Menurut Ibu Sulami: Sulami adalah nama dari seorang Sufi besaar, Sufi yang produktif menulis. Namanya As-Sulami, lengkapnya Abu Abdurrahman bin Al-Hussain bin Muhammad bin Musa As-Sulami Al-Azdi. Ia lahir di Khurasan, Iran, pada Tahun 325 H/937 M, dalam sebuah keluarga yang sangat taat beragama. Bahkan, kedua orangtuanya dikenal sebagai ulama dan sufi yang masyhur di Khurasan. Dalam sebuah suasana keluarga serba religius inilah yang mempengaruhi As-Sulami di kemudian hari. Pada saat Sulami berumur 15 Tahun, Ayahnya meninggal. dan Sulami diasuh oleh nenek dari pihak ibunya.
Sejak kecil, As-Sulami sudah mendalami Bahasa Arab dan Al-Quran sebagai basis untuk mempelajari berbagai hal mengenai Islam.
Banyak guru yang disebutkan Ibu Sulami, Nak, ketika Sulami menceritakannya pada Ibu ini. Tapi ibu lupa, Nak! Nama-nama arab yang rumit itu membuat ibu sulit mengingatnya. Kalau tidak salah ada sekiranya lima Guru-gurunya yang terkenal dikala itu. Dan As-Sulami mempelajari ilmu tafsir, hadis, fikih hingga tasawuf dari guru-gurunya itu. Belakangan itu, ia dikenal sebagai pakar hadis dan sejarah serta guru para sufi. Dimanapun ia berada: Nasaibur, Merv, Irak, Hijaz, As-Sulami selalu menulis.
Sejak usia delapan tahun, As-Sulami mendalami hadis bahkan kemudian meriwayatkannya. Dia belajar hadis dari beberapa guru yang mengarang kitab tasawuf ‘Hilyatul Awliya’ kepiawaiannya dalam ilmu hadis menjadikan As-Sulami sebagai rujukan banyak ulama. Banyak! Lebih dari duapuluh yang ibu tak bisa mengingat nama-namanya. Dengan banyaknya ulama  yang merujuk kepada As-Sulami, membuktikan bahwa mereka yang mengagumi As-Sulami mempunyai kedudukan yang tinggi dalam ilmu. Bahkan, Abdul Ghafir Al-Farisi berkata: ‘As-Sulami adalah seorang Syekh Thariqat (Jalan menuju kebenaran dalam tasawuf) yang telah dikaruniai penguasaan berbagai ilmu Hakekat dan Tasawuf. Beliau telah menulis sekitar 100 kitab tentang risalah tasawuf yang hebat’ dalam hal tasawuf, As-Sulami mengkaji kepada penulis kitab ‘Al-Luma fit Tasawuf’dan As-Sulami sering berdiskusi dengan sahabat-sahabatnya.
Selain dikenal dengan sufi yang besar, As-Sulami juga dikenal sebagai penulis, penulis kitab yang produktif. Ia menulis ketika masih berusia duapuluh tahun. Karya-karyanya meliputi sejumlah besar kitab dan risalah hadis dan tasawuf. Semua karyanya sekarang sebagai tumpuan, rujukan para ulama diseluruh dunia hingga sampai detik ini.
Sebagian besar dalam masa hidupnya, dihabiskan di perpustakaan untuk membaca dan menulis. Sampai beberapa bulan menjelang wafatnya pada Tahun 412H/1021M (ketika berusia 87 Tahun), ia masih berkarya. Hari-hari terakhirnya ia habiskan dengan bersunyi diri di sebuah pertapaan sufi di Naisabur, Iran. Disana pula ia wafat dan dimakamkan.   
Begitulah nak, penuturan Ibu Sulami yang di ceritakan kembali oleh Sulami kepada Ibu ini. Dan sekarang pula aku ceritakan kembali padamu, Laila Sulami—Anakku.
Oleh karena itu, Sulami juga piawai dalam menulis, dia telah menyumbangkan banyak tulisan, khusunya berbentuk cerpen yang isinya tentang kritik situasi ekonomi-politik nasional juga mengenai pergerakan perempuan, masalah-masalah perempuan, dll. Tulisan yang terkenal saat itu adalah cerpen yang berjudul Beberapa Pendapat Pengalaman Akan Gerakan Wanita Revolusioner. Dalam cerpen setengah fiktif ini, Sulami menuliskan hal unik yang dilakukan dirinya selaku tokoh dalam sebuah Organisasi perempuan dalam rangka membantu partai untuk menyelesaikan permasalahan para fungsionaris di daerah-daerah yang melakukan poligami, tanpa harus memecatnya. Sulami menerbitkan tulisan itu dalam majalah organisasinya, yang bernama Api Kartini. Sulami juga turut serta menjadi anggota redaksi tersebut, dengan: Maasje Siwi S, S Sijah, Darmini, Parjani Pradono dan SK Trimurti. Juga turut membantu redaksi: Rukiah Kertapati, Sugiarti Siswadi, Mr Trees Sunio, Rukmi B Resobowo, Siti Suratih, Sulistiowarni, Sutarni, Sudjinah dan Sarini.
Setelah mengalami masa-masa mengerikan ditahanan selama delapan tahun, Sulami baru diadili pada tahun 1975. Sebuah hal yang konyol dan mengerikan ketika: seorang tahanan dibui dan di siksa selama bertahun-tahun, baru kemudian di adili. Dalam pengadilan, yang penuh dengan manipulasi, Sulami divonis bersalah, dan harus mendapatkan hukuman 20 tahun dipotong masa tahanan.
Saat menjalani masa tahanan dijeruji besi, Sulami tidak hanya diam dalam hanyutan derita dan siksa. Ia kembali menggunakan kemampuannya dalam menulis. Dan membuat sebuah buku yang berjudul: Perempuan, Kebenaran dan Penjara (Kisah Nyata Dipenjara Selama 20 Tahun karena Tuduhan Makar dan Subversi). Buku yang diterbitkan pada tahun 1999—setelah rezim Soeharto tumbang, menceritakan pengalamannya selama berjuang di era perang kemerdekaan dan masa pra ‘65, hingga penderitaannya bersama tahanan lainnya di penjara.
Kau tahu, Nak, Orang-orang yang berada di tahanan bersama Sulami itu adalah orang-orang yang berpengaruh terhadap berdirinya republik ini: Orang-orang yang pintar—intelektual; orang-orang yang kritis.
Setelah bebas dari penjara, ketika tumbangnya kediktaktoran Orde Baru, Sulami tak berhenti di medan perjuangan. Bersama dengan kawan-kawan Tapol ‘65 lainnya: Pramoedya Ananta Toer, Hasan Raid, Koesalah Subagyo Toer, Sumini Martono dan dr.Ribka Tjiptaning, Sulami mendirikan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan ’65/66 di tahun 1999. Yayasan yang diketuai oleh Sulami sendiri tersebut dibentuk untuk meneliti dan mengungkapkan data korban pembunuhan masal tahun ‘65/66 yang mencapai tiga juta orang itu.
Bayangkan nak! Tiga juta orang dibunuh: disiksa, dipenggal, dibuang mayatnya kesungai dan pantai. Sungguh ironis sekali, Nak! Mereka itu, seperti yang Ibu ceritakan tadi: orang-orang yang berjuang melawan penindasan, membantu kaum tani mendapatkan haknya atas tanah, berjuang terhadap Indonesia dari Nekolim. Dan banyak jasanya demi terbangunnya rakyat Indonesia yang adil dan sejahtera. Tapi mati ditangan bangsanya sendiri. Bangsa yang mereka bangun!
Nak! Belumlah tuntas perjuangan Sulami dan kawan-kawannya melalui YPKP, takdir Tuhan menentukan lain. Sang Perempuan Revolusioner itu harus beristirahat dari medan perjuangan untuk selamanya. Nak! Seorang pejuang perempuan itu meninggal dihadapan Ayah dan Ibu. Dia meninggal tahun 2002, di usia 76 tahun. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Ibu dan Ayah juga memberitahukan kepada dia bahwa:
‘Sulami, Srikandi Merah, aku memberikan namamu itu kepada nama anakku. Anakku cantik, sama sepertimu. Walaupun kau sudah menjadi wanita tua, kecantikanmu itu tak pernah sirna. Juga, aku ingin anakku itu mempunyai jiwa Revolusioner, sama sepertimu.’
‘Jangan memanggilku berlebihan seperti itu....” suaranya tersendat-sendat lemah. ‘Aku senang, kau ingin jadikan anakmu itu sebagai penerus perjuangan terhadap bangsa ini. Ceritakanlah bangsa kita dulu, ceritakanlah bahwa ada sebuah organisasi wanita yang berjuang untuk melawan penindasan terhadap kaum hawa Indonesia. Dan ajari mereka untuk membaca dan menulis. Saya yakin, dengan begitu—mereka yang berilmu dan pendidikan, dapat mengetahui bahwa di negeri ini ada sebuah pembodohan masal—mereka akan tahu, selama lebih dari 30 tahun ini, bangsa kita ditidurkan—di nina bobokan oleh rezim Orde Baru. Butuh belajar dan menunggu waktu yang lama untuk menyadarkannya. Maka dari itu, beritahukanlah pada anakmu, siapa nama  panjangnya?’
‘Laila Sulami.’
‘Laila, sungguh indah nama dari bahasa arab itu.’
‘Benar, Aku ingat darimu—As-Sulami, sang Sufi besar dan penulis produktif itu. Maka dari itu, aku tambahkan nama berasal dari bahasa arab pada anakku.’
‘Kau masih ingat rupanya. Kalau kau perkenankan padaku, apa arti dari nama Laila itu?’
‘Aku tidak akan lupa: dirimu, organisasi Gerakan Wanita Indonesia Sadar, perjuanganmu, dan si diktaktor rezim Orba itu,’
Ibu tidak menceritakan bagian dari apa arti nama Laila, ketika bercerita kepadaku tentang sang perempuan Revolusioner itu. Ada yang disembunyikan, nampaknya ibu tidak mau aku tahu. Laila, seperti yang Ibu beritahukan dari awal yang berartikan: Malam yang gelap. Malam yang gelap? Aku berhenti berpikir, dan kembali mendengarkan cerita Ibu dan Sulami—teman Ibu.
‘Jangan kau lupa, jangan sampai bangsa ini lupa dengan sejarah kelam itu. Kau tahu? Saat aku tak berjumpa lagi denganmu, kala itu aku telah tertangkap.  pada saat di dalam penjara penuh dengan siksa. Saat penyiksaan tersebut, aku membayangkan bagaimana pengorbanan rakyat Vietnam yang sedang berjuang mengusir Imperialis, yang lebih berat dibanding dengan siksa yang aku alami saat itu.’
Dan kata-kata terakhir Sulami pada saat itu adalah begini:
‘pembantaian yang menewaskan jutaan orang pada tahun 1965/1966 tanpa proses peradilan itu adalah tanggung jawab penuh  Soeharto, selaku pimpinan militer.’
Begitulah, Nak! Kata-kata terakhir dari perempuan revolusioner yang tertera dalam nama akhirmu itu. Sulami, seorang perempuan yang disiksa, dikriminalisasi oleh bangsanya sendiri. Seorang yang berjuang untuk kaum wanita Indonesia dari segala penindasan, membela kaum tani dan buruh. Menentang dan menolak budaya feodal dan sistem ekonomi-politik kolonialis dan kapitalis.”
            Ibu merapatkan bibirnya, selesailah cerita dari sebuah nama. tak kusadari, Ayah tengah berdiri, bersandar pada pintu. Ibu menyeka air mata yang meleleh di pipinya. Kehadiran Ayah, membuatku kembali ketakutan. Tak diperintah, aku masuk kamar, Bersambung...