Oleh : Muhamad Khotim Ali
Bangsa dan
Negara sering disandingkan dalam suatu ungkapan seseorang. Retorika yang
bernada tentang Nasionalime itu seakan tidak pernah bisa dipisahkan, seperti
dalam ungkapan “berbangsa dan Bernegara”. Namun, persandingan dua kata itu
seolah tidak ada persoalan dari keduanya.
Bila
kita lihat, sejarah mencatat jelas dalam benak masyarakat Indonesia bahwa banyak
daerah-daerah yang –seharusnya—menjadi satu bangsa ingin melepaskan diri dari
pulau jawa. Artinya, jika melihat pada keadaan indonesia yang terdiri dari
ribuan pulau dan banyak sekali suku-suku, apakah kata “satu bangsa satu negara”
masih rasional untuk diterapkan, mengingat sistem yang diterapkan di Indonesia
(baca: Undang-Undang) sangat tidak berpihak pada mereka.
Sedikit mengingat kebelakang bagaimana Aceh
ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
pemberontakan DI/TII ditahun 1953 yang
menuntut diterapkannya hukum syari’at islam yang kemudian baru bisa dirasakan
setelah rezim Orba lengser melalui otonomi daerah. Lebih dari itu kemudian
terjadi kembali pemberontakan dari kelompok sporadis yang dinamai Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) yang dipimpin Hasan Tiro dengan tuntutan yang lebih ekstrem, yakni
melepaskan diri dari indonesia.
Diakui
atau tidak, keinginan GAM melepaskan diri dari Indonesia dikarenakan kejengahan
rakyat Aceh atas eksploitasi sumber daya alam oleh kapitalis, baik lokal
ataupun asing. Ketidakmampuan indonesia mengelola sumber daya alamnya sendiri
sehingga harus berada dikangkangan ekonomi kapitalis dijadikan alasan untuk
melepaskan diri dari NKRI. Ditetapkannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer
(DOM), dimana rakyat Aceh banyak yang mendapatkan tindakan refresif dari
militer dengan tuduhan sebagai anggota GAM. Semua itu justru membakar semangat
rakyat Aceh untuk semakin memassifkan perlawanan menuju Aceh merdeka.
Aceh
hanya satu dari sekian daerah yang menginginkan lepas dari NKRI, bagaimana
Organisasi Papua Merdeka (OPM), Republik Maluku Selatan (RMS), hingga Timtim
yang sudah berhasil melepaskan diri dari NKRI dan berharap mereka bisa lebih
membatasi kepada nekolim sehingga kedaulatan rakyat berada ditangan mereka
sendiri.
Jika
kita memahami konteks sejarah yang terjadi di Indonesia, tentu kita akan
mempertanyakan dimana sumpah berbangsa satu-bangsa indonesia tidak lagi
berlaku. Bagaimana tidak, penyelenggara negara (baca: pemerintah) yang paling
getol mempropagandakan nasionalime tetapi menghalalkan darah anak bangsanya sendiri
yang kemudian menimbulkan dendam ideologi dari anak bangsa satu dan yang
lainnya. Padahal salah satu tugas negara adalah menjamin dan melindungi hak
hidup warga negara dengan kecintaan terhadap sisi kemanusiaan.
Nasionalisme
kita adalah ‘Nasionalisme sempit’; nasionalisme yang tidak berjalan dengan rasa
kecintaan terhadap Indonesia. Bahkan dengan sinis Erich
Froman menyatakan , “Nasionalisme adalah bentuk incest zaman ini, berhala kita,
dan patriotisme adalah cara memujanya, cinta untuk sebuah Negara, jika bukan
merupakan bagian dari cinta kemanusiaan, bukanlah cinta sama sekali, melainkan
sekedar menyembah berhala”.
Nasionalisme yang begitu mengakar
dalam masyarakat politik Indonesia dengan gampang bisa di tangkap ketika
mendengar atau membaca bagaimana seseorang dengan begitu mudahnya
mempersandingkan bangsa dan Negara.
dalam ungkapan “ demi kehidupan berbangsa dan bernegara” atau
“menjalankan rasa tanggung jawab terhadap bangsa dan Negara” sebagaimana hampir
setiap hari muncul dalam percakapan resmi. Bangsa dan Negara bersanding
seolah-olah tidak dan tidak pernah ada soal antara keduanya, Bila kita masuk
lebih dalam kesejarah maka akan tampak bahwa Bangsa, kebangsaan, baik dalam
dirinya sendiri maupun dalam hubunganya dengan Negara menimbulkan keruwetan
yang luar biasa. Pada saat tertentu dirasakan bahwa dobrakan modal
internasional sebegitu rupa sehingga berbicara sekali lagi tentang
nasionalisme hanya membuang waktu, Nasionalisme adalah darah dan
tanah, begitu kata Hittler. bagaimana tidak kita bisa melihat rezim-rezim
politik kita terdahulu dari orde baru
sampai sekarang era reformasi , demokrasi, yang katanya era kebebasan
berpolitik, berideologi dan segala macam
bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa harus mempermasalahkan genre, tetapi ketika
sebagian orang meneriakan segera mengusut tuntas kasus yang selama ini masih
janggal semacam pembunuhan PKI 1965 dan masih banyak lagi yang lainya lalu
semuanya diam dan seolah-olah tidak tau, malah kebanyakan rakyat Indonesia
mengatakan PKI dan antek-anteknya memang bersalah dan pantas menerima semua itu
tanpa melihat sisi kemanusiaan,darah PKI
tak ubahnya seperti tumbal untuk melanggengan kekuasaan Orde baru. ketika runtuhya rezim orde baru Mei
1998 orang-orang kembali meneriakan
ini adalah jamanya kebebasan dan Gusdur adalah salah satu tokoh yang ingin mencoba mempraktekan semua itu
dengan menggagas mencabut TAP MPR NO ….1965 yang isinya melarang mendirikan kembali PKI dan Segala
macam organisasi yang berbau ideologi
Komunis, lalu reaksi masyarakat terutama umat muslim begitu
kerasnya mengecam ungkapan yang
dilontarkan oleh gusdur, mereka berdalih komunis tidak sesuai dengan ajaran
islam dan pancasila, apa ini yang namanya
demokrasi? Ya inilah hasil manipulasi history orde baru, semacam pembodohan bagi bangsanya
sendiri.
ketika rezim orde baru sampai sekarang rezim
orde paling baru berkuasa, mereka membiarkan modal internasional masuk
ke bumi pertiwi untuk mengeksploitasi ,mengeruk habis sumber daya alam yang ada
di tanah air kita untuk dibawa ke negaranya masing-masing, itulah nasionalisme versi penguasa kita yang
tamak akan kekeuasaan dan kekayaan yang selama ini selalu meneriakan
nasionalisme. Sekarang, ketika begitu banyak daerah ingin atau
sekurang-kurangnya ingin memisahkan diri
dari NKRI,kita bisa ambil contoh Aceh dengan GAM-nya Maluku dengan
RMS-nya dan Papua dengan OPM-nya
meneriakan ingin segera melepaskan diri
dari apa itu yang namanya Indonesia, nama asing, aneh, nama berian
etnolog dan antropolog asing. Dan seketika itu juga nasionalisme yang dikira
sudah mati tiba-tiba menggeliat lagi, para penguasa meneriakan “ jangan biarkan
daerah-daerah dengan para pemberontaknya itu merusak keutuhan NKRI ini” dan rakyat awam-pun yang tidak tau
apa-apa tiba-tiba meneriakan hal yang sama, demi nasionalisme, darah dan
nyawapun akan dikorbankan demi keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia ini.
Namun bila kita melihat dan menganalisis kejadian yang sebenarnya terjadi di
aceh dan daerah-daerah lainya tentu kita akan merasakan kengerian yang di alami
oleh rakyat aceh sendiri, sejak berdirinya rezim orde baru yang serba
sentralistik. aceh adalah salah satu
daerah yang kekayaanya habis di keruk oleh para pemodal asing dan kompradornya,
dan meninggalkan kemiskinanan untuk rakyat aceh sendiri. Berbeda Ketika orde
lama berkuasa pemberontakan rakyat aceh dengan DI/TII yang berupaya melindungi
dan membangun entitas kultur khas islam di aceh, GAM justru melakukan
diskontinuitas yang sangat ekstrim atas sejarah integrasi nasional aceh ke
republik. DI/TII masih berbicara dalam konteks Indonesia , GAM melesat jauh
dengan cita-cita Negara Aceh Sumatra, dan seketika itu pula Rezim orde baru
segera menjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi
Militer(DOM) untuk menumpas habis para pemberontak. Namun yang terjadi malah
sebaliknya, akibat dijadikanya aceh sebagai daerah oprasi militer (DOM) Rakyat
aceh mengalami kekerasan yang tidak manusiawi oleh para militer, Pembunuhan,
penyiksaan, penculikan dan pemerkosaan, yang tidak manusiawi dilakukan oleh para militer kepada setiap rakyat
Aceh yang di anggap GAM, dan membakar semangat perlawanan aceh sampai sekarang,
Maluku dan Papua mengalami hal yang sama, kemiskinan , darah dan air mata
berjatuhan di bumi Maluku dan papua. Jadi wajar ketika beberapa daerah ingin
melepaskan diri dari NKRI akibat dari ketidakadilan penguasa yang ada di
Jakarta, untuk apa nasionalisme jika tak mendatangkan rasa aman dan perut
kenyang serta kemajuan daerahnya, Dan nasionalisme untuk Indonesia sudah mati.
Lalu pertanyaanya apa itu
nasionalisme? Nampaknya memang kita
tengah di uji dalam soal nasionalisme,nasionalisme yang selama ini
dipropagandakan adalah “ nasionalisme fisik “ dan “ Nasionalisme romantis “,
atas nama Negara dengan segala atributnya dan kebanggaan semunya, darah sesama
dihalalkan, kita lebih menghormati selembar kain dua warna dari pada nyawa
seorang anak bangsa. Kita telah melupakan bahwa Indonesia dibentuk untuk
menghormati, menjamin dan melindungi hak-hak dasar manusia dan nilai
kemanusiaan. Situasi dan kondisi sekarang ini mengharuskan kita untuk merenungi
kembali akar-akar dan makna kebangsaan serta nasionalisme kita.
Bahkan dengan sinis Erich Froman menyatakan , “Nasionalisme adalah
bentuk incest zaman ini, berhala kita, dan patriotisme adalah cara memujanya,
cinta untuk sebuah Negara, jika bukan merupakan bagian dari cinta kemanusiaan,
bukanlah cinta sama sekali, melainkan sekedar menyembah berhala”.
0 Kritikan:
Post a Comment