Kepada Ibu Pertiwi, surat ini aku sampaikan. Dengan rasa hormatku padamu,
izinkan aku menceritakan sedikit kisah kepadamu, melihat sisi lain bangsa ini. Saya
akan tunjukan kepada Ibu Pertiwi dan seluruh anak bangsa, bahwa kemerdekaan
yang telah sampai pada 69 Tahun ini, belum dirasakan oleh masyarakat. Salah
satunya yang berada di ujung barat pulau Jawa. Ya, di Ujung Kulon. Kecamatan
Sumur, Pandeglang. Mungkin, air mata ibu akan berlinang juga terlara-lara
mendengar dan melihat kejadian ini. Melihat hutan, gunung, sawah dan lautan
simpanan kekayaan. Namun, mereka tidak merasakan kekayaan tersebut.
Dimulai pada tanggal 3 oktober 2014, tepatnya hari Jumat Pukul 11:00,
nelayan yang bernama: Damo, Rahmat dan Misdan di tangkap oleh petugas Taman
Nasional Ujung Kulon (TNUK). Dengan tuduhan menjaring hewan yang dilindungi dan
masuk dalam kawasan Ujung Kulon.
Lihatlah, wahai Ibu Pertiwi..!!. Saya pilu, melihat kejadian ini.
Indonesia memang negara yang sangat kaya, aku akui itu. Namun, tidak untuk
warga Ujung Kulon. Mereka tidak bisa merasakan dan menikmati kekayaan alam yang
ada. Padahal, Damo, Rahmat dan Misdan hanya mengambil beberapa ikan untuk
dijual, untuk menghidupi keluarganya. Mereka melaut terpaksa karena untuk
mempersiapkan kebutuhan hari Raya Idul Adha. Peralatan untuk menangkap ikan pun
masih tradisional. Bahkan, diantara mereka bertiga hanya dua sampai tiga kali
melaut. Sebelumnya mereka berprofesi sebagai tani. Akan kebutuhan yang
mendesak, mereka terpaksa melaut.
Apabila masyarakat Ujung Kulon tidak bisa menikmati kekayaan alam, lantas
untuk siapa kekayaan alam tersebut?. Aku masih ingat apa yang Ibu katakan
padaku. Bahwa ”Bumi, air dan udara dan kekayaan alam yang ada didalamnya
dikuasai oleh negara, dan dipegunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Namun liahtlah, itu tidak seperti kenyataan yang Ibu katakan. Lantas, kekayaan
alam tersebut untuk kemakmuran dan kesejahtraan rakyat yang mana? Aku tak kuasa
apabila mendengar dan melihat keadaan seperti ini. Apakah dengan alasan
melindungi hewan dan hutan? Lantas, apakah mereka lebih mementingkan hewan dari
pada kehidupan manusia?. Tak kusangka, air mataku berlinang. Apakah ibu bisa
merasakannya juga?, Kepahitan Rakyat Ujung Kulon.
Melihat kejadian itu, harus ada tindakan. Oleh karena itu, Saya dan
teman-teman turun kejalan bersama masyarakat Ujung Kulon, keluarga korban dan
organ mahasiswa. Pada tanggal 17 November 2014 menuju pengadilan Pandeglang,
bertepatan dengan sidang yang pertama. Ada yang membuat saya tercengang.
Seseorang yang berorasi dengan penuh emosional. Terdengar kekecewaan terhadap
pemerintah; warga Ujung Kulon yang tertangkap karena hanya mengambil kepiting
untuk menghidupi keluarganya. Namanya Kusroni, salah satu anak bangsa yang
mempunyai semangat juang. Hati saya pun bergetar ketika mendengar orasinya.
Membuat saya yakin akan perjuangan ini. Membantu pembebasan Rakyat yang
terbelenggu TNUK.
Setiap ada persidangan kami pun hadir untuk melakukan aksi. Namun, pada
tanggal 9 Desember 2014, sidang yang ke-4 kalinya ini Mengalami musibah
terhadap warga Ujung Kulon. Mobil yang mengantarkan warga untuk aksi di
pengadilan terjadi kecelakaan. Yang berakibatkan 20 orang warga luka-luka, 17
orang luka ringan dan 3 orang luka parah. Namun, aksi untuk mendukung
pembebasan Damo Cs harus tetap berjalan. Lagi-lagi saya dibuat tercengang oleh
Kusroni. Ketika berorasi, dia terlihat menggeram. Bahkan, dengan lantang dan
tegas dia berteriak “saya rela mati, asal Damo, Rahmat dan Misdan di bebaskan
sekarang juga”. Mungkin dia terpukul
melihat warga Ujung Kulon mengalami kecelakaan. Demi membantu pembebasan mereka
harus mengalami rasa sakit dan berdarah-darah.
Lihatlah Ibu Pertiwi, mereka harus mengeluarkan darah demi memperjuangkan
pembebasan Damo, Cs. Dan tidak hanya itu, mereka berjuang agar tidak ada lagi
Damo-Damo, Cs selanjutnya yang ditangkap oleh TNUK. Dan itu harus
diperjuangkan, walau nyawa jaminannya. Agar hal ini tidak terjadi lagi oleh
anak-anak bangsa selanjutnya.
Kesedihan dirasakan ketika mengunjungi korban yang parah di rawat RS
Pandeglang. Aku tak kuasa melihatnya Ibu. Aku tak bisa menahan kepahitan ini.
Apalagi melihat raut wajah keluarga korban, yang terpukul melihat kejadian ini.
Cobaan apalagi yang akan kau berikan ya Tuhan. Sudah cukup derita ini, derita
terhadap Rakyat Ujung Kulon. Sehingga saya terisak-isak, menghentikan sejenak
menulis ini. Tanganku bergetar, sehingga tulisanku dengan pena ini tak berarah
. Kertas untuk menulis pun tak kusadari tertetes air mata, sehingga melunturkan
kata yang tertulis pena.
Saya mengalami kelemahan tubuh, karena sering bergadang. Namun, hal ini
tidak mengurungkan semangat perjuangan. Pada malam sabtu tanggal 20 Desember
2014, saya berangkat menuju Ujung Kulon Bersama Teman-teman untuk menghadiri
Konsolidasi Rakyat Ujung Kulon yang akan dilaksanakan pada hari Minggu. Setelah
empat jam perjalanan, saya sampai pada tujuan. Bertempatkan di kampung Cikaung,
desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, Pandeglang. Pertama saya injakan kaki disana,
saya melihat baliho yang sangat besar yang bertuliskan tuntutan-tuntutan Rakyat
Ujung Kulon: Hentikan intimidasi dan kriminalisasi rakyat Ujung Kulon; Bebaskan
Damo, Rahmat dan Misdan sekarang juga; Kembalikan hak-hak rakyat Ujung Kulon
atas tanah yang dirampas Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dan Laksanakan
reforma agraria sejati. Selain itu saya melihat dan beristirahat dipanggung
sederhana, beratapkan terpal dan darisan meja-meja untuk alas.
Pada hari minggu pukul sebelas acar pun dimulai. Banyak sekali masyarakat
yang hadir dalam acara ini, yakni dihadiri oleh dihadiri oleh 14 Desa yang
terdiri dari Kecamatan Cimanggu, dan Sumur. Selain itu, hadir pula organisasi
mahasiswa dan lembaga yang berada di Banten antara lain: KUMAUNG, JMHI, FPPI,
HIMALA UNMA, MAPALAUT, TARUNG, JKPP, SAINS, HUMA, LBH JAKARTA, SAHABAT Ujung
Kulon, STUK, AGRA. Serta hadir tokoh Banten Selatan: H. Ali Balfas, Tarim, M.
Sahri. Banyaknya orang yang mendukung membuat perjuangan ini semakin kuat.
Lihatlah Ibu Pertiwi, warga Ujung Kulon tidak sendiri. Kami berkumpul serta
menyatukan pikiran dan kekuatan semangat
juang untuk mendapatkan kembali hak-hak Rakyat Ujung Kulon yang dirampas oleh
TNUK. Hal ini membuat saya tak terlarut dalam kesedihan. Namun, membuat saya
dan Rakyat Ujung Kulon semakin bersemangat dalam berjuang.
Dalam acara ini, banyak orang yang berpidato dan berorasi. Namun, ada
satu orang yang lagi-lagi menggetarkan hati saya, Ibu Pertiwi. Dia adalah ibu
Jumsi’ah, Ibu Pertiwi!. Seorang nenek-nenek yang semangat juangnya tak pudar
sama sekali. Ketika beliau berorasi, dengan pekikan emosional, membuat tangan
saya bergetar ketika memegang kamera seraya merekam. Teriakannya yang bergumam,
terdengar keras oleh telinga saya. Seketika hati saya menjadi bergetar
mendengarnya, dan menahan isak haru, menahan air mata yang akan menetes. Saya
berpikir, beliau walaupun sudah tua, namun, semangat tak gentar. Dan saya yang
masih muda, tak pantas untuk lemah dalam berjuang.
Setelah itu, dilanjutkan dengan ceramah yang suarakan oleh KH. Sarmedi, salah
satu tokoh agama islam di Ujung Kulon yang ikut berjuang. Tidak hanya berceramah,
namun ikut berjuang dari awal mengikuti perkembangan persidangan. Bahkan ikut
melakukan aksi kejalan. Membuat saya terkenang pada tokoh-tokoh ulama seperti
KH. Achamad Chatib dan H. TB. Emed putra Kiyai Asnawi Caringin. Pada saat pemberontakan
ulama-komunis Tahun 1926 melawan kolonial Belanda dan para pejabat: Bupati
atau Pamong Praja(berasal dari luar Banten). yang selalu tunduk pada kehendak
pihak kolonial, sekalipun mengorbankan kepentingan rakyat. Ibu Pertiwi,
Mungkinkah sejarah akan terulang kembali!!.
Kemudian, setelah malam tiba. Masyarakat Ujung Jaya menonton Film
Soekarno untuk menghibur dan menyemangati perjuang ini. Dan masyarakat pun
antusias melihat beramai-ramai sampai pada pukul sebelas malam, diakhiri dengan
turunnya hujan.
Esok Hari, saya mengunjungi keluarga Damo dan Rahmat, yang memang masih
bersaudara serta rumahnya pun berdekatan. Pertama saya bertemu dengan kakak
ipar dari Damo, yaitu Bapak Usup. Saya mendengarkan cerita bagaimana kronologi
Damo, Rahmat dan Misdan sampai bisa tertangkap oleh petugas TNUK. Setelah itu,
saya menemui istri dari Damo di rumahnya yang sederhana; rumah panggung dan
berdindingkan bilik. Dengan suara tertahan-tahan, Juminah bercerita tentang
kehidupannya setelah ditinggal Damo yang di bui. Juminah yang sedang hamil muda
ini hanya dua kali berjumpa dengan suaminya di bui. Bukan karena tidak mau, namun
Juminah tidak punya cukup uang ongkos ke Pandeglang. Ketika saya bertanya
dengan menyebutkan nama Damo, wajahnya pucat dan lemas. Seketika, saya pun ikut
merasakan pukulan dari keterpisahan mereka berdua. Melihat hal itu, saya tidak
banyak bertanya.
Lihatlah Bu..!! keluarga yang kesakitan; terlara-lara. Apakah tega
melihatnya? Padahal, Damo, Rahmat dan Misdan berjuang untuk menghidupi
keluarganya. Karena peraturan yang tidak memihak pada Rakyat Kecil, akhirnya
mereka yang menjadi korban.
Saya berjalan berserta kepiluan menuju rumah Opur yang menjadi korban
kecelakaan yang paling parah. Sesampainya dirumah yang sama keadaanya dengan
rumah Damo, saya bertemu Opur yang tengah berbaring lemas. Dengan bermaksud
menyambut saya, dia mengangkat perlahan-lahan dengan menahan sakit lengan
kanannya sembari berjabatan. Luka-luka yang masih tampak di kepala, lengan
kanan dan kiri menunjukan sakitnya begitu parah. Ditambah dari keterangannya
bahwa lehernyapun patah sehingga tidak bisa banyak bergerak. Saya langsung
berfikir dalam benak hati, mungkin dengan kecelakaan ini akan membuat Opur akan
kehilangan semangat juangnya. Namun, sangkalan itu tidak tepat. Dengan
terjadinya kecelakaan ini, yang membuat dirinya terbaring tidak menggoyahkan
perjuangannya dan tidak menyesali kecelakaan tersebut (Hal tersebut dikatakan
juga oleh korban-korban kecelakan lainnya).
Opur yang berprofesi petani ini akan tetap berjuang walau nyawa menjadi
taruhannya. Demi mengembalikan hak-hak Rakyat Ujung Kulon yang terampas TNUK.
Ibu Pertiwi, ini Perjuangan Rakyat Ujung Kulon yang gigih. Mengorbankan
nyawanya untuk membebaskan belenggu TNUK. Tidak hanya Opur, namun ribuan warga
Ujung Kulon yang terdiri 14 Desa dari kecamatan Sumur dan Cimanggu yang akan
berjuang sampai titik penghabisan untuk mendapatkan hak-haknya walaupun sampai
berdarah-darah. Jangan sampai Rakyat Ujung Kulon menjadi hakimnya sendiri: Utang
padi dibayar padi; Utang ikan dibayar ikan; Utang darah dibayar darah. Jangan sampai semua itu dipaksa terjadi di Bumi Ibu Pertiwi..!!.(Candra)
0 Kritikan:
Post a Comment