Friday, December 26, 2014

Surat Untuk Ibu Pertiwi, Kabar Dari Rakyat Ujung Kulon

Kepada Ibu Pertiwi, surat ini aku sampaikan. Dengan rasa hormatku padamu, izinkan aku menceritakan sedikit kisah kepadamu, melihat sisi lain bangsa ini. Saya akan tunjukan kepada Ibu Pertiwi dan seluruh anak bangsa, bahwa kemerdekaan yang telah sampai pada 69 Tahun ini, belum dirasakan oleh masyarakat. Salah satunya yang berada di ujung barat pulau Jawa. Ya, di Ujung Kulon. Kecamatan Sumur, Pandeglang. Mungkin, air mata ibu akan berlinang juga terlara-lara mendengar dan melihat kejadian ini. Melihat hutan, gunung, sawah dan lautan simpanan kekayaan. Namun, mereka tidak merasakan kekayaan tersebut.

Dimulai pada tanggal 3 oktober 2014, tepatnya hari Jumat Pukul 11:00, nelayan yang bernama: Damo, Rahmat dan Misdan di tangkap oleh petugas Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Dengan tuduhan menjaring hewan yang dilindungi dan masuk dalam kawasan Ujung Kulon.

Lihatlah, wahai Ibu Pertiwi..!!. Saya pilu, melihat kejadian ini. Indonesia memang negara yang sangat kaya, aku akui itu. Namun, tidak untuk warga Ujung Kulon. Mereka tidak bisa merasakan dan menikmati kekayaan alam yang ada. Padahal, Damo, Rahmat dan Misdan hanya mengambil beberapa ikan untuk dijual, untuk menghidupi keluarganya. Mereka melaut terpaksa karena untuk mempersiapkan kebutuhan hari Raya Idul Adha. Peralatan untuk menangkap ikan pun masih tradisional. Bahkan, diantara mereka bertiga hanya dua sampai tiga kali melaut. Sebelumnya mereka berprofesi sebagai tani. Akan kebutuhan yang mendesak, mereka terpaksa melaut.

Apabila masyarakat Ujung Kulon tidak bisa menikmati kekayaan alam, lantas untuk siapa kekayaan alam tersebut?. Aku masih ingat apa yang Ibu katakan padaku. Bahwa ”Bumi, air dan udara dan kekayaan alam yang ada didalamnya dikuasai oleh negara, dan dipegunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Namun liahtlah, itu tidak seperti kenyataan yang Ibu katakan. Lantas, kekayaan alam tersebut untuk kemakmuran dan kesejahtraan rakyat yang mana? Aku tak kuasa apabila mendengar dan melihat keadaan seperti ini. Apakah dengan alasan melindungi hewan dan hutan? Lantas, apakah mereka lebih mementingkan hewan dari pada kehidupan manusia?. Tak kusangka, air mataku berlinang. Apakah ibu bisa merasakannya juga?, Kepahitan Rakyat Ujung Kulon.

Melihat kejadian itu, harus ada tindakan. Oleh karena itu, Saya dan teman-teman turun kejalan bersama masyarakat Ujung Kulon, keluarga korban dan organ mahasiswa. Pada tanggal 17 November 2014 menuju pengadilan Pandeglang, bertepatan dengan sidang yang pertama. Ada yang membuat saya tercengang. Seseorang yang berorasi dengan penuh emosional. Terdengar kekecewaan terhadap pemerintah; warga Ujung Kulon yang tertangkap karena hanya mengambil kepiting untuk menghidupi keluarganya. Namanya Kusroni, salah satu anak bangsa yang mempunyai semangat juang. Hati saya pun bergetar ketika mendengar orasinya. Membuat saya yakin akan perjuangan ini. Membantu pembebasan Rakyat yang terbelenggu TNUK.

Setiap ada persidangan kami pun hadir untuk melakukan aksi. Namun, pada tanggal 9 Desember 2014, sidang yang ke-4 kalinya ini Mengalami musibah terhadap warga Ujung Kulon. Mobil yang mengantarkan warga untuk aksi di pengadilan terjadi kecelakaan. Yang berakibatkan 20 orang warga luka-luka, 17 orang luka ringan dan 3 orang luka parah. Namun, aksi untuk mendukung pembebasan Damo Cs harus tetap berjalan. Lagi-lagi saya dibuat tercengang oleh Kusroni. Ketika berorasi, dia terlihat menggeram. Bahkan, dengan lantang dan tegas dia berteriak “saya rela mati, asal Damo, Rahmat dan Misdan di bebaskan sekarang juga”. Mungkin dia  terpukul melihat warga Ujung Kulon mengalami kecelakaan. Demi membantu pembebasan mereka harus mengalami rasa sakit dan berdarah-darah.

Lihatlah Ibu Pertiwi, mereka harus mengeluarkan darah demi memperjuangkan pembebasan Damo, Cs. Dan tidak hanya itu, mereka berjuang agar tidak ada lagi Damo-Damo, Cs selanjutnya yang ditangkap oleh TNUK. Dan itu harus diperjuangkan, walau nyawa jaminannya. Agar hal ini tidak terjadi lagi oleh anak-anak bangsa selanjutnya.

Kesedihan dirasakan ketika mengunjungi korban yang parah di rawat RS Pandeglang. Aku tak kuasa melihatnya Ibu. Aku tak bisa menahan kepahitan ini. Apalagi melihat raut wajah keluarga korban, yang terpukul melihat kejadian ini. Cobaan apalagi yang akan kau berikan ya Tuhan. Sudah cukup derita ini, derita terhadap Rakyat Ujung Kulon. Sehingga saya terisak-isak, menghentikan sejenak menulis ini. Tanganku bergetar, sehingga tulisanku dengan pena ini tak berarah . Kertas untuk menulis pun tak kusadari tertetes air mata, sehingga melunturkan kata yang tertulis pena.

Saya mengalami kelemahan tubuh, karena sering bergadang. Namun, hal ini tidak mengurungkan semangat perjuangan. Pada malam sabtu tanggal 20 Desember 2014, saya berangkat menuju Ujung Kulon Bersama Teman-teman untuk menghadiri Konsolidasi Rakyat Ujung Kulon yang akan dilaksanakan pada hari Minggu. Setelah empat jam perjalanan, saya sampai pada tujuan. Bertempatkan di kampung Cikaung, desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, Pandeglang. Pertama saya injakan kaki disana, saya melihat baliho yang sangat besar yang bertuliskan tuntutan-tuntutan Rakyat Ujung Kulon: Hentikan intimidasi dan kriminalisasi rakyat Ujung Kulon; Bebaskan Damo, Rahmat dan Misdan sekarang juga; Kembalikan hak-hak rakyat Ujung Kulon atas tanah yang dirampas Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dan Laksanakan reforma agraria sejati. Selain itu saya melihat dan beristirahat dipanggung sederhana, beratapkan terpal dan darisan meja-meja untuk alas.

Pada hari minggu pukul sebelas acar pun dimulai. Banyak sekali masyarakat yang hadir dalam acara ini, yakni dihadiri oleh dihadiri oleh 14 Desa yang terdiri dari Kecamatan Cimanggu, dan Sumur. Selain itu, hadir pula organisasi mahasiswa dan lembaga yang berada di Banten antara lain: KUMAUNG, JMHI, FPPI, HIMALA UNMA, MAPALAUT, TARUNG, JKPP, SAINS, HUMA, LBH JAKARTA, SAHABAT Ujung Kulon, STUK, AGRA. Serta hadir tokoh Banten Selatan: H. Ali Balfas, Tarim, M. Sahri. Banyaknya orang yang mendukung membuat perjuangan ini semakin kuat. Lihatlah Ibu Pertiwi, warga Ujung Kulon tidak sendiri. Kami berkumpul serta menyatukan pikiran dan kekuatan  semangat juang untuk mendapatkan kembali hak-hak Rakyat Ujung Kulon yang dirampas oleh TNUK. Hal ini membuat saya tak terlarut dalam kesedihan. Namun, membuat saya dan Rakyat Ujung Kulon semakin bersemangat dalam berjuang.

Dalam acara ini, banyak orang yang berpidato dan berorasi. Namun, ada satu orang yang lagi-lagi menggetarkan hati saya, Ibu Pertiwi. Dia adalah ibu Jumsi’ah, Ibu Pertiwi!. Seorang nenek-nenek yang semangat juangnya tak pudar sama sekali. Ketika beliau berorasi, dengan pekikan emosional, membuat tangan saya bergetar ketika memegang kamera seraya merekam. Teriakannya yang bergumam, terdengar keras oleh telinga saya. Seketika hati saya menjadi bergetar mendengarnya, dan menahan isak haru, menahan air mata yang akan menetes. Saya berpikir, beliau walaupun sudah tua, namun, semangat tak gentar. Dan saya yang masih muda, tak pantas untuk lemah dalam berjuang.

Setelah itu, dilanjutkan dengan ceramah yang suarakan oleh KH. Sarmedi, salah satu tokoh agama islam di Ujung Kulon yang ikut berjuang. Tidak hanya berceramah, namun ikut berjuang dari awal mengikuti perkembangan persidangan. Bahkan ikut melakukan aksi kejalan. Membuat saya terkenang pada tokoh-tokoh ulama seperti KH. Achamad Chatib dan H. TB. Emed putra Kiyai Asnawi Caringin. Pada saat pemberontakan ulama-komunis Tahun 1926 melawan kolonial Belanda dan para pejabat: Bupati atau Pamong Praja(berasal dari luar Banten). yang selalu tunduk pada kehendak pihak kolonial, sekalipun mengorbankan kepentingan rakyat. Ibu Pertiwi, Mungkinkah sejarah akan terulang kembali!!.

Kemudian, setelah malam tiba. Masyarakat Ujung Jaya menonton Film Soekarno untuk menghibur dan menyemangati perjuang ini. Dan masyarakat pun antusias melihat beramai-ramai sampai pada pukul sebelas malam, diakhiri dengan turunnya hujan.

Esok Hari, saya mengunjungi keluarga Damo dan Rahmat, yang memang masih bersaudara serta rumahnya pun berdekatan. Pertama saya bertemu dengan kakak ipar dari Damo, yaitu Bapak Usup. Saya mendengarkan cerita bagaimana kronologi Damo, Rahmat dan Misdan sampai bisa tertangkap oleh petugas TNUK. Setelah itu, saya menemui istri dari Damo di rumahnya yang sederhana; rumah panggung dan berdindingkan bilik. Dengan suara tertahan-tahan, Juminah bercerita tentang kehidupannya setelah ditinggal Damo yang di bui. Juminah yang sedang hamil muda ini hanya dua kali berjumpa dengan suaminya di bui. Bukan karena tidak mau, namun Juminah tidak punya cukup uang ongkos ke Pandeglang. Ketika saya bertanya dengan menyebutkan nama Damo, wajahnya pucat dan lemas. Seketika, saya pun ikut merasakan pukulan dari keterpisahan mereka berdua. Melihat hal itu, saya tidak banyak bertanya.

Lihatlah Bu..!! keluarga yang kesakitan; terlara-lara. Apakah tega melihatnya? Padahal, Damo, Rahmat dan Misdan berjuang untuk menghidupi keluarganya. Karena peraturan yang tidak memihak pada Rakyat Kecil, akhirnya mereka yang menjadi korban.

Saya berjalan berserta kepiluan menuju rumah Opur yang menjadi korban kecelakaan yang paling parah. Sesampainya dirumah yang sama keadaanya dengan rumah Damo, saya bertemu Opur yang tengah berbaring lemas. Dengan bermaksud menyambut saya, dia mengangkat perlahan-lahan dengan menahan sakit lengan kanannya sembari berjabatan. Luka-luka yang masih tampak di kepala, lengan kanan dan kiri menunjukan sakitnya begitu parah. Ditambah dari keterangannya bahwa lehernyapun patah sehingga tidak bisa banyak bergerak. Saya langsung berfikir dalam benak hati, mungkin dengan kecelakaan ini akan membuat Opur akan kehilangan semangat juangnya. Namun, sangkalan itu tidak tepat. Dengan terjadinya kecelakaan ini, yang membuat dirinya terbaring tidak menggoyahkan perjuangannya dan tidak menyesali kecelakaan tersebut (Hal tersebut dikatakan juga oleh korban-korban kecelakan lainnya).  Opur yang berprofesi petani ini akan tetap berjuang walau nyawa menjadi taruhannya. Demi mengembalikan hak-hak Rakyat Ujung Kulon yang terampas TNUK.


Ibu Pertiwi, ini Perjuangan Rakyat Ujung Kulon yang gigih. Mengorbankan nyawanya untuk membebaskan belenggu TNUK. Tidak hanya Opur, namun ribuan warga Ujung Kulon yang terdiri 14 Desa dari kecamatan Sumur dan Cimanggu yang akan berjuang sampai titik penghabisan untuk mendapatkan hak-haknya walaupun sampai berdarah-darah. Jangan sampai Rakyat Ujung Kulon menjadi hakimnya sendiri: Utang padi dibayar padi; Utang ikan dibayar ikan; Utang darah dibayar darah. Jangan sampai semua itu dipaksa terjadi di Bumi Ibu Pertiwi..!!.(Candra)

0 Kritikan:

Post a Comment