Dimalam ini, aku tulis kembali cerita arti sebuah namaku dengan
selembar kertas folio, ditulis dengan rapi dengan pena hitam. Kucurahkan segala
kata yang keluar dari mulut ibuku dengan halus menari dalam bidang kertas. Yang
akhirnya, tugas filsafatku sudah selesai.
Dalam ruang yang sepi ini, entah kenapa aku teringat kembali dengan
sosok seorang Kakak laki-laki pertamaku. Belumlah kujumpa denganya semasa
hidupku. Hanya sebingkai foto dan serangkaian cerita yang di utarakan oleh
ibuku, membuat aku mengenal lebih dekat dengan saudara sulungku itu. Dikamar
inilah Kakak-ku memejamkan matanya yang
hanya dalam waktu singkat. Kehidupan Kakak-ku menjadi seorang mahasiswa
begitu dekat dengan kehidupan Civitas academica dan pers mahasiswanya.
Kulangkahkan kaki yang kecil ini menuju lemari kakaku. Mencoba
mencari serpihan atau secarik kenangan yang membangkitkan kembali ingatanku
kepadanya. Kubuka pintu lemari kayu besi yang membuat tanganku mengeluarkan
tenaga lebih besar. Nafasku termegap-megap mengerahkan seluruh kekuatan untuk
membuka lemari, yang akhirnya bisa terbuka jua. Dalam lemari, kudapati
dokument-dokument: bulletin, tabloid dan majalah pers kampus, klipping koran,
selebaran-selebaran, dan... buku catatan pribadinya. Kulangkahkan kembali
kaki-ku ini menuju tempat tidur dengan membawa dokument-dokument itu. Butuh dua kali balikan untuk membawa
semua dokumen. Satu persatu saya baca dengan seksama. Dan beginilah kisah
seorang mahasiswa tahun 1977-1978:
“Mau
kemana lagi kau, Nak!” kata ibuku yang sedang duduk dikursi santai sembari
menjahit pakaian, “Baru saja kau datang dari Bandung, dan sekarang kau mau
pergi lagi, apa kau tak kecapean?”
“Maafkan aku,
Bunda. Aku tidak bisa berlama-lama dirumah, tidak bisa bercakap-cakap dengan
bunda dan keluarga,” aku jongkokan tubuh yang tinggi ini untuk memasangkan
kauskaki dan menalikan tali sepatu kets hitam suram, “Aku akan mengunjungi
teman-temanku, teman yang kuliah di Universitas Indonesia, aku akan berbagi
dengan mereka mengenai situasi politik di negri ini yang semakin kacau dari
pemerintahan orde baru yang otoriter,” Aku sembah sujud kepada bunda, meminta
restu untuk pamit pergi. Aku pegangi tangan sang ibu, dan kuletakan dahiku diatas
kelima jemarinya.
“Baiklah, Nak.
Pergilah sana, kau adalah mahasiswa. Seorang pelajar memang harus seperti itu,” Ibuku mencium
kepalaku yang dibalut dengan rambut yang tebal dan panjang, “Tak usah kau
risaukan Ibu dan Ayahmu, bangsa ini butuh pelajar-pelajar sepertimu.”
Aku tegakan tubuh
ini, dan melangkah keluar rumah. Tak kudapati ayahku dirumah, mungkin sedang
menggarap sawah diladang.
***
Sesampainya di
kampus UI, nampak mahasiswa begitu ramai beraktivitas. Salahsatunya sedang
mengerumuni majalah dinding, membuat hati untuk menghampiri. Banyaknya
tulisan-tulisan dari mahasiswa sedang membicarakan pemerintahan orde baru:
“Nasib Bangsa dan Negara,” “Perkembangan Bangsa,” “Kehidupan Bangsa,”
tulisannya begitu membuat mahasiswa membara.
Ketika serius membaca, disela-sela mahasiswa UI, lengan dan bahu
kiri-ku di tarik ke belakang dengan begitu keras dan kencang. Perasaanku sudah
semakin tak karuan, dalam hati berkata: sial, Paskopkamtib! Militer sialan. Tak
puas kau, setelah peristiwa malari. Sumpah serapah yang banyak aku keluarkan
dalam hati terhenti ketika melihat seorang yang menarikku,
“Sial kau, Amri...” menarik nafas dan mengeluarkannya dengan cepat,
“Buat aku kaget saja!”
“Achamdi, bagaimana kabarmu? Kenapa kau nampak pucat seperti itu...”
“Aku kira...”
“...Kau masih takut kau dengan militer? Masa mahasiswa takut dengan
militer,” Amri mengolok-olok.
“Kau ini, membuat jantungku seperti akan jatuh saja. Memang
peristiwa malari dulu membuat mahasiswa tak bisa berbuat apa-apa.”
“Sudahlah, Bung. Semua tahu itu, peristiwa malapetaka limabelas Januari,
1974 membuat mahasiswa mengalami kemerosotan berjuang melawan pemerintahan orde
baru..” Amri membawa langkahku bersamanya, “..surat keputusan 028 yang
dikeluarkan oleh Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, dr. Syarief Thayeb itu
menjadikan sebagai tempurung: mengurung mahasiswa dalam kampus, tidak ada yang
berani turun kejalan. Mahasiswa nampak lesu dan seperti kekurangan darah, tidak
bergairah. Dan sejumlah pers umum pun di beredel akibat malari itu. Namun, ini
kemudian dijadikan kesempatan bagi mahasiswa membuat pers kampus yang mati suri
itu. Bukankah kau hadir dalam lokakarya pendidikan pers mahasiswa yang
diselenggarakan oleh kampus universitas Brawijaya, Malang. yang dihadiri oleh
seluruh penerbitan pers mahasiswa se-Indonesia?”
“Betul, Amri. Aku pun hadir pada saat itu. Memang pertemuan pers
mahasiswa tersebut dijadikan untuk memperbaiki diri, meningkatkan kemampuan
jurnalistik dan kerjasama antara sesama mahasiswa se–Indonesia. Hal itu pun
dijadikan sebagai alternatif sebagai jalan keluar mengatasi kemacetan
komunikasi antar mahasiswa. Oleh karen itu, aku datang kemari untuk menemui
kau, Amri.”
“Baiklah, Bung. Mari kita diskusikan itu di sekretariat Salemba
saja,” Amri membawaku kesebuah ruang kerja pers Salemba, “Ini dia ruang
kerja pers salemba, UI. Silahkan masuk, anggap saja sekretariat pers kampusmu.”
Dalam ruang kerja itu nampak sepi, hanya satu orang mahasiswa yang
tengah duduk sembari mengetik.
“Bung, kemarilah,”
Amri menunjukan sesuatu, “Ini tabloid Salemba,” kuraih tabloid itu dari
tangan Amri, terlihat pada laporan utamanya berbunyi: Sistem pemilu yang
demokratis masih harus diperjuangkan.
“Tampilan
tabloidnya sangat menarik, lebih menantang” kataku mengomentari. “Kalau aku
boleh tahu, kenapa dinamakan Salemba?”
“Salemba, Saat
itu, berdasarkan hasil rapat penasehat ahli, rektor dan para pengasuh. Nama
surat kabar itu diberikan berdasarkan romantisme, bahwa peranan kampus UI yang
pada awalnya terletak di Salemba telah memberikan catatan-catatan penting dan
kontribusi perjuangan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, romantisme juang yang
historis itu rasanya perlu diabadikan...”
“Hahaha..” Amri tertawa terbahak-bahak. “Kau, Mad, Achmadi,
jauh-jauh dari Bandung hanya sekedar menanyakan romantisme Salemba saja.”
Memang, selama sejam kami hanya berbincang mengenai Salemba. “Kau mau
buat tulisan mengenai Salemba, Mad?”
“Hmmm,” gumamku. Aku tertawa tanpa membuka mulut.
Salemba memang menarik
untuk diketahui dan dipelajari, terutama dari karikatur politiknya. Sebagian
besar dari karikaturnya mengenai kebebasan. Apabila dilihat atau dibayangkan
dari karikatur tersebut, nampak sang karikaturis menggambarkan sebuah kebebasan
dari cengkraman, kebebasan lembaga-lembaga demokrasi dari genggaman otoritas
penguasa. Dan hampir semuanya dilukiskan dalam simbol-simbol yang hampir
seragam. Penggenggaman kebebasan tersebut dilukiskan dalam simbol-simbol
militer oleh sang karikaturis. Dalam karikatur tersebut, nampak tampang serdadu
kejam dengan gigi-gerigi kokoh tajam atau bersenjata, serdadu dengan topi baja
atau sejenisnya sedang melalap mangsanya: Apakah itu pers, partai politik serta
kekuatan-kekuatan politik lainnya yang ketakutan dengan mulut yang terkatup.
Atau sepatu lars militer yang kokoh nan keras sebagai simbol stabilitas sedang
menginjak-injak kebebasan. Seperti pada karikatur dari tabloid yang saya pegang
oleh kedua tangan saat ini, karikatur
yang menggambarkan seorang serdadu bintang satu. Dalam gigi-geriginya yang
tajam seperti gergaji, sang serdadu sedang memamah kebebasan pers, demokrasi,
kebebasan mimbar, kebebasan berserikat, kebebasan individu dan Freedom and
Peace.
“Baiklah, Amri, kita lupakan sejenak Salemba-mu itu. Mari
kita analisis dan rencanakan pergerakan melalui jurnalistik. Sebagai media
propaganda untuk menyatukan kekuatan mahasiswa. Karena menurutku setelah peristiwa
malari dan SK 028 yang dikeluarkan pemerintah, pergerakan mahasiswa hanya
berkutat di sekitar kampus dan pergerakannya tidak masif karena aksi setiap
kampus hanya dilakukan di daerahnya masing-masing. Melakukan aktivitas
kampusnya sendiri-sendiri, aktivitas antara satu kampus dengan kampus yang
lainnya tidak ada hubungannya. Gerakan mahasiswa benar-benar sporadis,
terpecah-pecah, tidak terpadu, sendiri-sendiri, bergerak secara lokal dan
terisolasi dengan masyarakat luas.
Kau masih ingat dengan aksi ketika pada tanggal 23-26 Februari 1977
dilangsungkannya rapat kerja Rektor se-Indonesia yang mengharapkan SK 028 itu
untuk dicabut, namun yang terjadi hanya semacam proses tawar menawar, bahwa: SK
tersebut akan dicabut apabila statuta universitas telah disusun dan mendapatkan
pengesahan dari mentri pendidikan dan kebudayaan. Yang akhirnya, di Bandung
melakukan ‘Aksi Goro-goro’ karena menurut kalangan mahasiswa, hasil Raker
Rektor tersebut belumlah maksimal.”
“Dan pada hari yang sama, di UI pun melakukan Aksi Poster.”
“Pada tanggal 9 juli 1977, Mahasiswa Jakarta berteriak di jalanan
mengajukan protes kenaikan tarif bus kota. Mahasiswa melakukan poling pendapat
mewawancarai masyarakat yang menggunakan jasa angkutan bus umum dan mahasiswa
mendatangi pol-pol bus kota menahan kendaraan umum untuk tidak beroperasi
keluar...”
“Karena pemerintah hendaknya mengalihkan subsidi yang selama ini
dialokasikan untuk mobil-mobil dinas para pejabat dialihkan kepada bus-bus kota
yang menyangkut kepentingan rakyat banyak,” menurut seseorang yang menyambar
disela-sela cakapku. Yang tak lain dia adalah Dinar Simbolon, seorang aktifis
perempuan dari Suku Batak. Kemudian, dia duduk disampingku ikut dalam diskusi.
Amri : Mahasiswa
Surabaya lain lagi, mereka melakukan aksi protes
Kepada DPRD dan walikota.
Achmadi : Aku belum
dengar aksi mahasiswa tersebut.
Dinar : Aksi
tersebut terjadi akibat kerusuhan dari penggusuran pedagang
kaki lima.
Achmadi : Dan
mahasiswa yogyakarta, Medan dan Ujungpandang masing-
masing membawa persoalan kedaerahan
masing-masing dan sendiri-
sendiri.
Amri : Lantas,
apa yang akan kita lakukan untuk mempersatuka gerakan
mahasiswa?
Achmadi : jalan satu-satunya untuk menyatukan
gerakan mahasiswa adalah dengan
mempersatukan gerakan mahasiswa secara
simultan, nasional dan terpadu.
Dinar : Hebat
juga mahasiswa Bandung ini, gagasannya sangar revolusioner.
Amri : Jadi,
yang kita perlukan adalah berkumpulnya semua mahasiswa untuk
berdiskusi, dan mendapatkan pandangan yang
sama, kemudian bergerak
bersama. Begitukah, Mad?
Achmadi : Betul,
Bung.
Dinar : Bagaimana caranya kita agar
dapat mengumpulkan begitu banyaknya
mahasiswa, Mad? Belum lagi ketatnya penjagaan
kampus oleh militer.
Ahcmadi : Tenang, tak usah risau seperti itu.
Aku dan Dewan mahasiswa/senat
mahasiswa se-Bandung sudah memikirkannya.
Jadi, pada tanggal 24-26
Oktober 1977 kita akan mengadakan pertemuan dan
mengundang mahasiswa
nasional dengan dalih bertepatan dengan
peringatan Hari Sumpah Pemuda 28
Oktober. Dalam acara tersebut, saat
pendahuluan di isi dengan seperangkat
diskusi yang mengundang berbagai tokoh
nasional, dalam bidang berbagai
kajian yang dipandang mempunyai relevansi
dengan konteks permasalahan
yang sedang dihadapi negara dan masyarakat.
Bagaimana?
Amri : Sepakat, Bung. Salemba akan
terus menyeruakan perjuangan mahasiswa.
Achmadi : Harus,
karena menulis adalah budaya mahasiswa dan persma sebagai media
propagandanya. Baiklah, diskusi ini kita
cukupkan sampai disini, aku juga
akan bergegas ke persma kampus-kampus lain: Gelora
Mahasiswa (UGM),
Atmajaya (Unik Atmajaya), Derap
Mahasiswa (IKIP Yogyakarta), Arena
(IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Airlangga (universitas Airlangga,
Surabaya), dan kampus-kampus lainnya.
Dinar : Hari
sudah malam, menginap dulu-lah. Aku khawatir dijalan, ini
Jakarta. Razia mahasiswa terus berjalan
hingga saat ini. Tak kau
lihat rambut gondrongmu itu?
Achmadi : Terimakasih, Dinar, lainkali saja.
Aku harus secepatnya
mengabarkan hal ini ke kampus-kampus lain.
Doakan saja agar baik-
baik dalam perjalanan juang ini.
Bergegaslah aku
menuju kampus-kampus lain, dengan memberikan pemahaman mengenai gerakan
mahasiswa seperti yang aku ceritakan pada persma Salemba, UI. Memang aku
ditugaskan dari Bandung atas DM/SM untuk menggalang kesadaran kebersamaan
mahasiswa nasional. Sebelum gagasan ini dibuat, mahasiswa Bandung membuat
proposal rencana pertemuan dengan nama
‘Gelora Kebangkitan 28 Oktober 1977’ dengan latar belakang pemikiran, bahwa:
kehidupan bernegara pada umumnya bertujuan untuk mencapai kesejahteraan secara
bersama-sama. Perlu adanya jaminan guna berjalannya sistem sosial, politik dan
ekonomi secara baik sesuai dengan cita-cita bersama. Yang dalam kenyataannya
masih banyak dijumpai kekurangan-kekurangan di bidang sosial, politik dan
ekonomi. Bahkan sulit untuk mewujudkan cita-cita bersama dalam konsesus UUD
1945.
Dalam hal ini,
masih saja terjadi pemerkosaan atas demokrasi, kebebasan berpendapat dan
hak-hak politik warga negara. Adanya kecenderungan pihak eksekutif untuk
menekan kehidupan badan-badan legislatif dan kacaunya tata tugas
lembaga-lembaga negara. Dalam bidang sosial, dijumpai problema-problema seperti
Neofeodalisme, manipulasi jabatan dan macetnya pelaksanaan hukum.
Sedangkan di bidang ekonomi, kita dihantui oleh masalah-masalah pemerataan
pendapatan, rongrongan terhadap aktifitas ekonomi rakyat kecil dan penindasan
oleh modal-modal besar, yang kesemuanya mewujudkan kemelaratan dan kelaparan.
Ini merupakan tantangan bagi pemuda-pemudi Indonesia untuk memberikan
penyelesaian yang tuntas.
Memang di satu pihak tantangan kepada pemuda-pemudi itu demikian
besar, tetapi dilain pihak perlu dipertanyakan sudahkah kita miliki kesadaran
nasional yang cukup dan sudahkah ada keberanian di antara pemuda-pemudi
Indonesia untuk menjawab tantangan tersebut. Sungguh ironis bahwa api yang
pernah dikobarkan oleh kebangkitan nasional, sumpah pemuda, semangat proklamasi
dan amanat penderitaan rakyat kini telah padam.
Begitulah semangat
Mahasiswa yang telah memanggil untuk mengembalikan wajah Indonesia dengan
bercermin kepada cita-cita idealisme UUD 1945. Tanggung jawab pemuda-pemudi
Indonesia dengan mahasiswa sebagai bagian yang terpenting, dan tanggung jawab
ini mengharuskan memiliki sikap kritis dan peka terhadap keadaan lingkungan,
pengabdian masyarakat dalam berpartisipasi pada bidangnya masing-masing, dan
selalu menitik beratkan perjuangan kepada aspirasi rakyat dan cita-cita bangsa.
Oleh kerena itu,
apabila dirasa dalam masyarakat telah terjadi hal-hal yang menyeleweng dari
aspirasi rakyat dan cita-cita nasional, maka mahasiswa berkewajiban untuk
meluruskan sesuai dengan cita-cita bangsa dalam UUD 1945 hingga tercapai dengan
cara-cara yang dimungkinkan. Satu keharusan bahwa dalam melakukan perjuangan,
mahasiswa selalu berjalan bersama. Seperti halnya dengan sumpah pemuda yang
merupakan satu simbol persatuan di antara pemuda-pemudi Indonesia sebagai titik tolak bagi Indonesia untuk
mengusir penjajahan dengan segala manifestasinya. Oleh karena itu, jika saat
ini masih terdapat manifestasi lain dalam bentuk penindasan, kematian hak-hak
warga negara dan kemelaratan, mengapa kita harus lupakan Sumpah Pemuda yang
pernah kita ucapkan pada tanggal 28 Oktober 1928.
Saat seperti ini,
sudah tibalah bagi pemuda-pemudi Indonesia untuk berada dalam konsepsi
perjuangan bersama dalam mewujudkan cita-cita berupa Bhineka Tunggal Ika,
terpisah-pisah dalam satu tujuan.
Tujuan pertemuan Bandung yang akan diselenggarakan pada tanggal
24-26 Oktober 1977 untuk menciptakan kebersamaan dan kebersatuan mahasiswa
dalam melihat dan merumuskan permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini,
sebagai satu simbol perjuangan bersama.
***
Tibalah pada waktu
pertemuan, hari pertama tanggal 24 Oktober 1977. Tamu undangan dari perwakilan
kampus UGM, Atmajaya dan kampus dari luar Pulau Jawa sudah datang sedari malam.
Tinggal menunggu yang lainnya. Memang acara pertemuan ini dimulai pada pukul 14.00
untuk panel diskusi I dengan topik: “Situasi dan Kondisi Politik Indonesia
Dewasa ini” sekarang sudah pukul 12.00. Lirikan bola mata ini tak mau berhenti,
kehadiran mahasiswa UI belumlah datang jua. Aku berharap sekali, Amri agar
hadir dalam pertemuan ini.
Sejam kemudian,
datanglah rombongan yang diketahui dari perwakilan kampus-kampus Yogyakarta dan
Surabaya. Dan tamu undangan sudah memasuki ruangan yang sudah disediakan
panitia penyelenggara pertemuan Bandung. Aku masih tetap menunggu di depan
kampus, berharap mereka—Dinar—perempuan marga Suku Batak, alasan mengapa aku
masih menunggu dan berharap datang. Perpisahan kala itu, membuatku
teringat-ingat karenanya. Seorang aktivis perempuan berjuang melawan tiran,
membuatku menyukai sosok perempuan yang idealis itu. Kekhawatirannya kepadaku
kala itu menyentuh hati, dengan suara lembut halusnya memberikan pandangan
berbeda dengan sosok aktivis yang militan. Dinar mengingatkanku kepada
cerita-cerita Ibu tentang perempuan-perempuan yang berjuang melawan penindasan.
Merekalah manusia hebat, selain mengurusi rumah: masak dan mencuci, namun tetap
berjuang menuntut hak-haknya. Pengecutlah bagi laki-laki yang hanya diam ketika
ditindas tiran dan bukanlah manusia apabila tidak ingin melakukan pekerjaan
yang berat—pekerjaan yang bermanfaat untuk masyarakat sekarang dan dihari
depan. Apapun resikonya, mekipun nyawa jadi taruhannya.
“Mad, mengapa
melamun di depan kampus?” suara Amri yang datang dari samping menyadarkan dari
pikiranku yang sedang melayang di dalam bawah sadar.
“Amri, lama sekali
kau datang?” kulihat arloji dilengan.
“Maaf, Mad, aku
terlambat karena banyak pekerjaan di kampus yang belum selesai. Aku sedang
menggarap tabloid Salemba.”
Mataku mulai melirik-lirik tanpa arah, seseorang yang aku tunggu
tidak nampak. Hati ini mulai lesu, kecuali semangat juang yang terus berapi.
“Kau datang sendiri, Amri?”
“Tidak, aku datang dengan teman-teman UI dan Dinar juga.”
Hati ini bertambah besar berkobar, mendengar nama Dinar yang di
ucapkan dari mulut Amri.
“Dinar? Kemana dia.”
“Dia sudah masuk bersama teman-teman yang lain. Kau sendiri
bagaimana, mari kita masuk, acara akan segera dimulai.”
Dalam panel diskusi pertama dengan topik: “Situasi dan Kondisi
Politik Indonesia Dewasa ini” dalam pokok pembahasannya mengenai permasalahan:
pertama, perbandingan sejarah dari mekanisme sosial politik demokrasi dalam
kedaulatan rakyat dan hak, wewenang dari lembaga-lembaga demokrasi. Kedua,
persoalan-persoalan apa saja yang akan dihadapi sekarang dan yang terakhir
mengenai harapan-harapan kita untuk masa yang akan datang dalam kehidupan
politik.
Dalam panel diskusi pertama ini berjalan selama sembilan jam,
berakhir pada pukul 23.00. Semua peserta pertemuan Bandung memasuki ruang
istirahat yang telah disediakan panitia. Langkah tengah sibuk mencari, diantara
banyaknya mahasiswa peserta pertemuan, sulit untuk menemukan. Kuterus mencari
dengan sorotan mata tajam melirik setiap wajah mahasiswa. Tidak ada! Kemana?
Kucoba bertanya,
“Kawan, kau lihat mahasiswa dari UI?” kataku kepada seorang
mahasiswi dari Surabaya.
“Entahlah, Bung. Mungkin masih di dalam ruang pertemuan.”
“Baiklah, terimakasih.”
Langkahku memasuki ruang pertemuan, nampak mahasiswa-mahasiswi UI
tengah bercakap dikursi membentuk lingkaran. Entah apa yang mereka diskusikan.
Kucoba menghampiri, salah-satu diantara mereka melihatku kemudian mengangkat
badan meninggalkan percakapan dan satu-persatu diantara mereka mengikutinya.
Hanya Amri dan Dinar masih dalam posisi duduk. Amri menoleh
kebelakang—kearahku, dan mulai angkat bicara.
“Ai, Bung...” Amri melambaikan tangan, dan Dinar melihatku. “...Tadi
siang kau menanyakan Dinar, ini dia orangnya,” Amri mengangkat badan, Dinar
merundukan wajah dan tersenyum kecil. Amri melangkahkan kakinya menghampiriku
dan tangan kanannya memegangi punda kiriku. Seraya berbisik dengan mulut
disamping telingaku dia berkata, “Aku masuk ruang istirahat dulu, kau temanilah
Dinar,” Amri meneruskan langkahnya keluar ruang pertemuan.
Aku duduk disamping kursi Dinar yang tengah menatap kedepan mimbar.
Membutuhkan sedikit waktu untuk aku angkat mulut, bercakap dengan Dinar. Yang
akhirnya, Dinar yang terlebih dahulu angkat bicara,
“Tadi siang kau mencariku, Mad,” katanya dengan suara yang pelan
dan halus.
“Betul, aku menunggu kehadiran teman-teman UI di depan kampus...”
kataku tergegap-gegap. “... Bagaimana Diskusi hari pertama ini?” aku
mengalihkan pembicaraan, tak mau aku mempersoalkan tadi siang dengan keadaan
gugup seperti ini.
“Memang dewasa ini Indonesa tengah menghadapi situasi sosial
politik ekonomi yang amat rumit. Kemelut yang melanda atas penyelewengan
kekuasaan yang telah menghianati Undang-undang 1945 dan Pancasila Kerap terjadi
di pelosok daerah Indonesia. Dan kemudian, ...” aku menatap wajah Dinar yang
tengah serius membicarakan tentang negara. Bibir yang tipis menari dan menyanyi
menyuarakan perjuangan bangsa. Aku tak habis pikir, perempuan yang secantik ini
dapat memikirkan sebuah perjuangan yang belum tentu seorang lelaki
melakukannya. Aku hanya diam mendengar, tidak berkomentar. Sampai pada akhir
pembicaraan, Dinar nampak lelah mengantuk. Kedua tangannya menyeka wajahnya,
dan menutup mulut saat menahan uap yang keluar.
“Sepertinya kau mengantuk, Dinar,”
“Ya, mungkin. Sebaiknya kita istirahat saja.”
“Baiklah, esok kita lanjutkan kembali. Karena sekarang sudah larut
malam, pagi-pagi kita sudah mulai pada panel diskusi yang kedua.”
Aku dan Dinar membangkitkan badan dari kursi dan meninggalkan ruang
pertemuan. Kuantarkan Dinar menuju ruang istirahat perempuan, dan aku pun pergi
menuju peristirahatanku.
***
Bandung, 25
Oktober 1977,
Pagi ini nampak
cerah, bias cahaya mentari menyinari ruang pertemuan. Walaupun pagi ini sangat
cerah, Bandung tetap saja dingin. Mahasiswa se-Indonesia mulai memasuki ruang
pertemuan. Tepat pukul jam delapan acara akan dimulai, dengan topik: “Situasi
dan Perkembangan Ekonomi Indonesia Dewasa ini.” Seorang pembawa acara perempuan
dengan memegang secarik kertas menghentakan suara dari mulutnya menandakan
panel diskusi II dimulai.
Dalam diskusi kali
ini membahas: bagaimana perbandingan sejarah dari kebijaksanaan dan pola-pola
dasar ekonomi kita, kedudukan azas kekeluargaan dalam pola pemikiran
pengetahuan ekonomi modern yang kini kita terapkan, dan harapan-harapan tentang
kehidupan sosial dimasa mendatang..
Di Orde Baru ini,
strategi ekonomi Indonesia menganut mahzab “Trickel down effect” dalam teori
ekonomi disebut menetes ke bawah. Paradigma Trickel down effect ini
melandaskan pada asumsi bahwa terakumulasi kapital dan kekayaan dalam jumlah
besar, lambat laun akan menetes pada lapisan bawah.
Dari kampanye penanaman modal yang dilansir pemerintah melalui
Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) sejak awal tahun 1970-an,
mengalirlah para pemodal untuk memanfaatkan kesempatan emas dalam memperebutkan
peluang yang ‘bermurah ramah’ dari pemerintah Indonesia. Penerapan
kebijaksanaan ekonomi yang untuk menarik modal itu, tentu segera mengubah
suasana Indonesia menjadi negri yang membangun. Lahir industri macam-macam yang
penuh dengan proteksi pemerintah dan berbagai
praktik monopoli.
Konsentrasi aset
dan modal pada usaha-usaha besar, akhirnya hanya akan memberikan kesempatan
yang makin berkembang bagi para pemodal raksasa. Dan setelah kekayaan terkumpul
pada beberapa gelintir orang, mana mungkin dibagi ramai-ramai atau
terdistribusikan kepada rakyat yang masih dihimpit oleh kemiskinan struktural
tanpa harus mengubah pola dasar kebijaksanaan ekonomi makro. Oleh karena itu, di
Orde Baru ini, pembangunan itu untuk siapa? Jangan harap akan terjadi tetesan,
merembes pun bagaikan sebuah mimpi.
Pembangunan itu diarahkan ke dunia
kapitalis yang sangat menguntungkan kaum pemodal, dan makin memperparah posisi
golongan ekonomi lemah.
Diskusi kedua ini berakhir pada pukul satu siang. Yang kemudian
peserta pertemuan beristirahat sejenak dan melanjutkan kembali pada panel
diskusi yang ke III dengan topik: “Situasi Perkembangan Sosial Indonesia Dewasa
ini” dimulai pukul jam dua siang.
Dalam panel diskusi ini, cukup banyak perdebatan yang sangat sengit
mengenai korupsi, skandal, kemewahan, pemborosan, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Dan peserta pertemuan ini, ingin mempermasalahkan sekitar hal-hal mengenai
undang-undang perlindungan usaha kecil, praktik kapitalisme yang tidak pada
tempatnya, pembangunan ekonomi yang terhindar dari korupsi, pemborosan dan
monopoli, kesewenang-wenangan dan sebagainya. Dalam hal ini, peserta
menyimpulkan bahwa: perlunya diadakan perubahan strategi pembangunan yang
sekarang dilaksanakan menjadi strategi pembangunan yang lebih mengutamakan
sifat kerakyatan dan manusia seutuhnya yaitu melalui pendekatan pendidikan
dalam arti seluas-luasnya.
Tepat pukul sembilan malam, acara diskusi yang ke tiga sudah
berakhir. Dan dilanjutkan dengan sesi Pandangan Umum dalam Sidang Pleno. Yang
kemudian selesai pada pukul 24.00. dua hari sudah diskusi dalam pertemuan mahasiswa
se-Indonesia ini berlangsung. Dan sesi terakhir dalam acara ini tinggal
menunggu esok hari dalam Perumusan Permasalahan. Esok adalah hari penentuan
bagaimana gerakan mahasiswa ini menjadi masif. Dan dapat menyuarakan perjuang
dalam pembebasan bangsa dari tiran, Bersambung...