Friday, December 18, 2015

Thursday, June 25, 2015

Pramoedya Ananta Toer: Cerita Calon Arang



Judul Buku                   : Cerita Calon Arang
Penulis                         : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit                       : Lentera Dipantara
Jumlah Halaman         : 96 hlm
Tahun Pertama Terbit : 2003

Semua Manusia bersaudarasatu sama lain.
Karena tu, tiap orang yang butuh pertolongan harus memperoleh pertolongan. Tiap
orang keluar dari satu turunan, karena itu satu sama lain adalah saudara
.”

Dalam Cerita Calon Arang ini mengisahkan seorang janda; seorang perempuan tua yang
memiliki kesaktian atau ilmu sakti mandraguna. Namun, kelebihan yang ada pada
diri wanita tua itu disalahgunakan. Kesaktian yang ia miliki digunakan untuk
kejahatan.  Ia senang menganiyaya sesama
manusia, membunuh, merampas dan menyakiti. Ia tukang teluh dan punya banyak
ilmu ajaib untuk membunuh orang. Calon Arang Berkuasa. Dia menyingkirkan lawan
politiknya. Calon Arang tak pernah puas. Apabila ada yang mengkritiknya,
habislah ia. Namun, kejahatan yang dilakukan oleh Calon Arang berakhir, ia ditumpas
oleh seorang Empu yang bernama Baradah. Empu Baradah adalah seorang yang saleh
dan taat benar pada agamanya. Dia suka menolong orang yang sedang membutuhkan
pertolongan. Karena kesalehan dan kebaikannya, penduduk sekitar menghormatinya.
            Cerita Calon Arang ini merupakan cerita
yang dikarang pada tahun 1462. Dalam tulisan naskah lama ini ada dua macam:
Jawa dan Bali. Di antara kedua naskah tersebut tidaklah jauh perbedaannya.
            Pramoedya
Ananta Toer menyusun buku ini sebagai buku kanak-kanak, agar bisa membangkitkan
cerita lama pada mereka. Dimana, di zaman informasi dan infotaimen ini,
anak-anak lebih suka menonton sinetron-sinetron dan melupakan cerita-cerita
daerah. Mengingat Indonesia kaya dengan cerita-cerita rakyat. Kemudian, di
zaman teknologi ini, anak-anak tidak lagi mendapatkan cerita-cerita dari
orangtua, atau mendengarkan dongeng sebelum tidur. Namun, tak banyak dari
mereka lebih sibuk dengan gadget yang
dimilikinya.
            Cerita Calon Arang ini, sangat baik
untuk kita baca. Karena, kita dapat mengambil beberapa pelajaran. Dimana kita
harus berbuat baik dan tolong menolong terhadap sesama manusia, tiap manusia
adalah bersaudara, karena manusia keluar dari satu keturunan. Kemudian, kita
juga harus memanfaatkan kelebihan yang ada diri kita untuk kepentingan orang
banyak. Sungguh tidak enak rasanya apabila kita hidup di dunia ini di jauhi
oleh orang-orang yang berada disekitar kita akibat dari perbuatan yang dapat
mencelakakan orang lain. Sesungguhnya, manusia merupakan makhluk sosial. Dan
kita tidak bisa hidup tanpa bantuan oranglain. Masihkah kita berbuat jahat
terhadap sesama manusia?

Sunday, April 19, 2015

Mimpi Seorang Calon Presiden Mahasiswa

Aku masih ingat, di tahun 2013, aku—Nurhadi Candra Ningrat—masuk perguruan tinggi. Perguruan tinggi itu bernama Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Banten Raya Pandeglang. Setelah terdaftar sebagai mahasiswa STISIP-BR dengan Nomor Induk Mahasiswa (NIM): 301 1314 051—sebelum kegiatan perkuliahan dimulai—kampus STISIP-BR menggelar Pelatihan Jurnalistik. Dengan semangat mahasiswa, aku mengikuti seminar pelatihan tersebut selama dua hari.  

Setelah Pelatihan Jurnalistik tersebut selesai, maka dibuatlah Jurnalis Kampus (JK). JK ini adalah organisasi intra kampus yang merupakan media komunikasi dan informasi kampus STISIP-BR. Aku pun terpilih sebagai Ketua JK. Dalam perjalannanya, JK terhenti beberapa bulan kemudian. Karena anggota JK satu persatu mengundurkan diri. Dan JK ini dirasa tidak sesuai dengan tujuan awal didirikan.

Akhirnya, aku memilih untuk mendirikan organisasi ekstra kampus. Organisasi itu bernama Perkumpulan Mahasiswa Kritis Banten Raya atau disingkat dengan PerMaKs-BR. Anggota Organ Ekstra ini adalah mahasiswa yang kuliah di kampus STISIP-BR.  

Di organisasi ini, kembali aku menjadi ketuanya. Dengan slogan: Berfikir Kritis dan Madju, mengusung Visi: Revolusi Pendidikan, PerMaKs menyuarakan pentingnya pendidikan, dengan cara berdiskusi, menulis dan aksi. PerMaKs juga mempunyai media pers cetak dan media sosial.
Dengan menerbitkan Bulletin, yang awalnya bernama Banten Muda dan kini menjadi Respoeblica. Kemudian, PerMaKs menerbitkan Newsletter yang bernama Ikra. Dalam pencetakan Bulletin, PerMaks menggunakan biaya kolektifitas anggota PerMaKs. Selain itu, PerMaKs juga sering menggelar seminar-seminar di kampus STISIP-BR dengan biaya dari kolektifitas anggota PerMaKs –Tanpa biaya dari kampus. Seminar dan diskusi tersebut diantaranya seminar Hari Tani Nasional yang dihadiri oleh organisasi ekstra kampus yang berada di wilayah kampus Pandeglang dan sekitarnya.


Seperti dengan nama organisasi ekstra ini, aku melihat ada yang kurang sebagai mahasiswa yang terdaftar di Kampus STISIP-BR.


Pertama, Kampus STISIP-BR tidak mempunyai wadah untuk menampung minat dan bakat mahasiswa serta potensi-potensi yang terdapat pada diri mahasiswa. Oleh karena itu, PerMaKs merencanakan membuat UKM di Bidang Olahraga yakni UKM Mapala. Namun, ternyata di semester lima ada yang akan menggagas pula. Akhirnya, kami pun bersama-sama untuk mengadakan Kongres pembentukan UKM Mapala, yang kahirnya terbentuklah UKM yang bernama Pendaki Alam(PENA).
Kedua, dikampus STISIP-BR belum terbentuk Himpunan Mahasiswa Jurusan(HMJ) Prodi Administrasi Negara. Yang kemudian, PerMaKs menggagas untuk membentuk HMJ-AN.


Akhir-akhir ini, kampus STISIP-BR, aku rasa, didalam Badan Eksekutif Mahasiswa(BEM) belumlah memberikan hal yang terbaik pada mahasiswa dan lembaga. Belum terlihat aktif dalam kegiatan-kegiatan yang membangun terhadap mahasiswa. Aku rasa BEM yang sebelumnya kurang bergairah—kurang darah—dalam berdinamika di kampus. Oleh karena itu, aku—Nurhadi Candra Ningrat—mencalonkan sebagai Presiden Mahasiswa(Presma) dengan rekan: Rini Artini—calon wakil Presma periode 2015-2016 dengan No.urut 1.

Aku punya mimpi, bahwa mahasiswa STISIP-BR dibawah kepemimpinanku menjadikan mahasiswa yang Kreatif, Inovatif, Kritis dan Maju, sesuai dengan Visi-ku menjadi Presma STISIP-BR.
Kreatif
Kreatif disini, dengan membuat kegiatan-kegiatan yang menumbuhkan kreatifitas mahasiswa agar menjadi mahasiswa yang mandiri dan siap mengantisipasi arah pengembangan bangsa.  Dengan ikut serta dalam program yang dibuat Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi(Dikti) yakni Program Kreatifitas Mahasiswa(PKM) dalam Bidang: Penelitian, Kewirausahaan, Pengabdian Kepada Masyarakat, Penerapan Teknologi, Artikel Ilmiah, Gagasan Tertulis dan Karsa Cipta. Oleh karena itu, dengan menggelar acara Diskusi, Membaca dan Menulis sehingga menjadikan mahasiswa yang kreatif dan intelektual dalam bertindak.
Inovatif
Mengadakan hal-hal baru, memecahkan masalah mengenai pendidikan, penelitian dan pengabdian, dengan mengadakan kegiatan yang meningkatkan Soft skill mahasiswa, dan membuat Unit Kegiatan Mahasiswa sebagai wadah minat bakat mahasiswa. Dengan begitu, munculah mahasiswa-mahasiswa yang inovatif.
Kritis
Dengan diselenggarakannya seminar-seminar atau diskusi-diskusi diharapkan adanya mahasiswa-mahasiswa kritis.  Dengan cara melakukan penelitian-penelitian, diharapkan mahasiswa dapat membantu permasalahan pemerintah.  Dan juga menjadi  Agent of Change atau kontrol sosial.
Maju
Dengan Visi dan Misi yang telah dipaparkan berharap, dengan menumbuhkan kesolidan mahasiswa dan bergerak maju, mahasiswa STISIP Banten Raya maju sebagai insan-insan intelektual.



Namun, semua itu hanyalah dongeng semata apabila mahasiswa STISIP-BR tidak mendukung aku di pemilihan presiden mahasiswa yang dilaksanakan pada hari kamis, 23 April 2015 untuk mahasiswa Reguler dan hari Sabtu, 25 April 2015 untuk Mahasiswa Non Reguler. Oleh karena itu, aku minta dukungan dari rekan-rekan mahasiswa STISIP-BR. Jangan lupa pilih aku di No.urut 1(Satu).(Cn/Res)

Monday, April 13, 2015

Pelatihan Mengasah Kepemimpinan di STISIP-BR

Pagi ini—Senin, 13 April 2015—kampus Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Banten Raya Pandeglang nampak berbeda dengan pagi-pagi seperti biasanya. Mahasiswa dan mahasiswi STISIP-BR telah berdatangan di kampus dengan mengenakan pakaian yang rapi dan juga mengenakan jas almamater telah berkumpul sejak pukul delapan. Kedatangan mahasiswa dan mahasiswi ini bukan tanpa alasan, kehadiran mahasiswa dan mahasiswi ini tak lain untuk menghadiri kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa (LDKM).

Di pagi ini pula, sinar mentari menyinari kampus STISIP-BR. Mahasiswa dan mahasiswi satu persatu memasuki ruangan yang sebelumnya harus mengisi daftar hadir acara LDKM terlebih dahulu. Kegiatan LDKM ini mengusung tema “Mengasah Jiwa Kepemimpinan Dalam diri Mahasiswa Sebagai Generasi dan Tulang Punggung Bangsa” seperti dalam tulisan pada spanduk yang terdapat pada depan dinding ruangan kegiatan LDKM dilakukan.

Setelah peserta LDKM ini menandatangani daftar hadir, terhitung peserta dengan jumlah 18 orang yang mengikuti acara tersebut. Jam telah menunjukan pukul sembilan, pembicara pun telah masuk ruangan untuk memberikan sambutan pada kegiatan pembukaan LDKM.

Seorang perempuan yang diketahui bernama Dera membuka acara dengan menggunakan Sound system menjadikan suaranya lebih lantang. Dalam sambutan yang pertama, Gian Kasogi sebagai ketua panitia pelaksana LDKM memberikan laporan kegiatan LDKM. Dalam kesempatan itu pula, gian memaparkan bahwa kegiatan LDKM ini merupakan agenda tahunan organisasi STISIP-BR untuk regenerasi. Sama halnya dengan Sutoto.S.Pd.,M.Si.,MM sebagai bidang akademik PK-1 memberikan kiat-kiat dalam berorganisasi, salah satunya dengan memaparkan sepuluh penyakit-penyakit organisasi yang kemudian memberikan bagaimana cara agar bisa mengatasi permasalahan-permasalahan dalam berorganisasi.

Setelah pembukaan kegiatan LDKM, kemudian dilanjutkan dengan pokok pembahasan LDKM yang dibahas oleh Depi Nuryadin.S.Ip.MM yang mengusung pembahasan “Gerakan mahasiswa dari mana menuju kemana?” dalam hal ini, Depi menuturkan bahwa di dalam mahasiswa terdapat tiga tipe mahasiswa, yakni: Hedonis, apatis dan kritis.

Lain halnya dengan Depi, TB.Nurjaman sebagai pemateri yang ke dua membahas mengenai manajemen diri. Nurjaman lebih memberikan masukan mengenai bagaimana dapat mengelola diri. Menurut Nurjaman, agar dapat mengelola diri haruslah dengan: fikir, ucap dan sikap atau tindakan.
Lain lagi dengan TB.Nurjaman, Dahlan Hadyan Suhanda.M.Si sebagai pemateri yang terakhir memaparkan mengenai kepemimpinan. Menurut Dahlan sebagai ketua STISIP-BR, seorang pemimpin harus mempunyai intelektual yang tinggi, emosional yang stabil dan persepsi sosial yang tinggi.

Dalam kesempatan terakhir, peserta LDKM diberikan pemahaman mengenai bagaimana jalannya persidangan dalam Musyawarah Mahasiswa(Musma). Menurut gian, pelatihan LDKM ini merupakan upaya melatih mahasiswa dalam menyambut musma yang akan dilakukan pada tanggal 17.


“LDKM ini sangat penting bagi mahasiswa,”Menurut Dede Luki, seorang peserta dari semester dua Program Studi Administrasi Negara(Prodi AN).  Begitu pula menurut M.Khotim Ali peserta dari semester empat Prodi AN  “LDKM ini harus diadakan setiap tahun untuk memberikan pelatihan terhadap mahasiswa mengenai kepemimpinan agar mahasiswa STISIP mempunyai pemimpin-pemimpin yang berguna bagi kampus, bangsa dan negara.” (Cn/Res)

Monday, April 6, 2015

Sang Pemula: R.M.Tirto Adhi Soerjo



R
aden Mas Tirto Adhi Soerjo atau sering disebut dengan T.A.S  lahir di Blora (1880-1918) merupakan “Orang yang  dilupakan dan terlupakan,” Menurut Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Sang Pemula, T.A.S merupakan “Seorang perintis utama kebangkitan nasional Indonesia.” Dan menurut Takashi Shiraishi lewat buku  Zaman Bergerak menyebut T.A.S sebagai orang Bumiputra yang menggerakan bangsa melalui bahasanya lewat Medan Prijaji.
                 “Penggoncang Bumiputra bangun dari tidurnya,” kata Marco Martodikromo. Bagaimana tidak, Djokomono—nama kecil Tirto Adhi Soerjo, merupakan pelopor jurnalistik Indonesia seperti yang dikatakan Ki Hajar Dewantara. Dengan menggunakan pers sebagai senjata pembela keadilan bagi si kecil dan dia pun perintis kewiraswastaan Pribumi dan banyak lagi lembaga-lembaga baru lainnya; semua ditanganinya dengan eksensitas yang kobar di tengah-tengah cengkraman kolonialisme yang sedang sampai pada puncak kejayaannya, menurut penerbit Hasta mitra dalam buku Sang Pemula—Pramoedya Ananta Toer. Lanjutnya, bukan hanya sekedar perintis pers, dia juga pendiri organisasi modern pertama: Sarikat Prijaji, kemudia Sarikat Dagang Islamiyah yang selanjutnya berkembang menjadi Sarekat Islam. Sama halnya dengan Moh. Hatta, Tirto Adhi Soerjo merupakan pendiri Serikat Dagang Islam...Kebebasan Ekonomi-rakyat menjadi tujuannya dan Islam jiwanya, guna kekuatan dan persatuan. 

Bapak Pers Nasional
Soenda Berita (SB) merupakan surat kabar yang di dirikan oleh T.A.S dengan modal penjualan harta-bendanya yang ada di Betawi. Dengan seorang diri padamulanya, T.A.S mengerjakan administrasi dan mengurus percetakan serta kerja koreksi. Dan SB  ini di terbitkan setiap hari minggu, yang mulai di terbitkan pada Bulan Februari 1903 dengan redaksi dan pencetak di Cianjur. SB merupakan terbitan pers pertama di Indonesia yang redaksinya bertempat di Desa. Harga eceran SB  20 sen, 80 sen untuk harga langganan sebulan, seringgit untuk satu kwartal dan f 7,50 untuk setahun.

Di atas kertas koran berukuran 21x28 cm yang terdiri dari 16 halaman ini, T.A.S mempunyai program yang jelas, yaitu: menaikan tingkat pengetahuan bangsanya diberbagai bidang dan menyiapkan pembacanya memasuki jaman modern yang sedang mendatangi. SB ini berisikan rubrik: kesehatan, pengobatan; kedokteran, meteorologi, hukum, ketataprajaan, hukum agama Islam, seluk-beluk fotografi, pewayangan yang ia ceritakan kembali setelah menonton pertunjukan wayang Sunda, perkreditan, kimia, tata pengadilan, pengajaran, farmasi, tinjauan pers, terjemahan Lembaran Negara serta lampirannya. Dan SB merupakan pers nasional yang mengawali pembukaan ruang untuk wanita Pribumi—kemudian di ikuti oleh penerbit lain. Rubrik-rubrik: masakan, sulam-menyulam, bordir, jahit-menjahit, urusan rumah tangga dan lain-lain. Dan yang terpenting: ditulis oleh para wanita sendiri.

Thursday, April 2, 2015

Saturday, February 28, 2015

Laila Sulami, bagian II: Gelora Kebangkitan

Dimalam ini, aku tulis kembali cerita arti sebuah namaku dengan selembar kertas folio, ditulis dengan rapi dengan pena hitam. Kucurahkan segala kata yang keluar dari mulut ibuku dengan halus menari dalam bidang kertas. Yang akhirnya, tugas filsafatku sudah selesai.
Dalam ruang yang sepi ini, entah kenapa aku teringat kembali dengan sosok seorang Kakak laki-laki pertamaku. Belumlah kujumpa denganya semasa hidupku. Hanya sebingkai foto dan serangkaian cerita yang di utarakan oleh ibuku, membuat aku mengenal lebih dekat dengan saudara sulungku itu. Dikamar inilah Kakak-ku memejamkan matanya yang  hanya dalam waktu singkat. Kehidupan Kakak-ku menjadi seorang mahasiswa begitu dekat dengan kehidupan Civitas academica dan pers mahasiswanya.
Kulangkahkan kaki yang kecil ini menuju lemari kakaku. Mencoba mencari serpihan atau secarik kenangan yang membangkitkan kembali ingatanku kepadanya. Kubuka pintu lemari kayu besi yang membuat tanganku mengeluarkan tenaga lebih besar. Nafasku termegap-megap mengerahkan seluruh kekuatan untuk membuka lemari, yang akhirnya bisa terbuka jua. Dalam lemari, kudapati dokument-dokument: bulletin, tabloid dan majalah pers kampus, klipping koran, selebaran-selebaran, dan... buku catatan pribadinya. Kulangkahkan kembali kaki-ku ini menuju tempat tidur dengan membawa dokument-dokument  itu. Butuh dua kali balikan untuk membawa semua dokumen. Satu persatu saya baca dengan seksama. Dan beginilah kisah seorang mahasiswa tahun 1977-1978:
                “Mau kemana lagi kau, Nak!” kata ibuku yang sedang duduk dikursi santai sembari menjahit pakaian, “Baru saja kau datang dari Bandung, dan sekarang kau mau pergi lagi, apa kau tak kecapean?”
            “Maafkan aku, Bunda. Aku tidak bisa berlama-lama dirumah, tidak bisa bercakap-cakap dengan bunda dan keluarga,” aku jongkokan tubuh yang tinggi ini untuk memasangkan kauskaki dan menalikan tali sepatu kets hitam suram, “Aku akan mengunjungi teman-temanku, teman yang kuliah di Universitas Indonesia, aku akan berbagi dengan mereka mengenai situasi politik di negri ini yang semakin kacau dari pemerintahan orde baru yang otoriter,” Aku sembah sujud kepada bunda, meminta restu untuk pamit pergi. Aku pegangi tangan sang ibu, dan kuletakan dahiku diatas kelima jemarinya.
            “Baiklah, Nak. Pergilah sana, kau adalah mahasiswa. Seorang pelajar  memang harus seperti itu,” Ibuku mencium kepalaku yang dibalut dengan rambut yang tebal dan panjang, “Tak usah kau risaukan Ibu dan Ayahmu, bangsa ini butuh pelajar-pelajar sepertimu.”
            Aku tegakan tubuh ini, dan melangkah keluar rumah. Tak kudapati ayahku dirumah, mungkin sedang menggarap sawah diladang.

***
            Sesampainya di kampus UI, nampak mahasiswa begitu ramai beraktivitas. Salahsatunya sedang mengerumuni majalah dinding, membuat hati untuk menghampiri. Banyaknya tulisan-tulisan dari mahasiswa sedang membicarakan pemerintahan orde baru: “Nasib Bangsa dan Negara,” “Perkembangan Bangsa,” “Kehidupan Bangsa,” tulisannya begitu membuat mahasiswa membara.
Ketika serius membaca, disela-sela mahasiswa UI, lengan dan bahu kiri-ku di tarik ke belakang dengan begitu keras dan kencang. Perasaanku sudah semakin tak karuan, dalam hati berkata: sial, Paskopkamtib! Militer sialan. Tak puas kau, setelah peristiwa malari. Sumpah serapah yang banyak aku keluarkan dalam hati terhenti ketika melihat seorang yang menarikku,
“Sial kau, Amri...” menarik nafas dan mengeluarkannya dengan cepat, “Buat aku kaget saja!”
“Achamdi, bagaimana kabarmu? Kenapa kau nampak pucat seperti itu...”
“Aku kira...”
“...Kau masih takut kau dengan militer? Masa mahasiswa takut dengan militer,” Amri mengolok-olok.
“Kau ini, membuat jantungku seperti akan jatuh saja. Memang peristiwa malari dulu membuat mahasiswa tak bisa berbuat apa-apa.”
“Sudahlah, Bung. Semua tahu itu, peristiwa malapetaka limabelas Januari, 1974 membuat mahasiswa mengalami kemerosotan berjuang melawan pemerintahan orde baru..” Amri membawa langkahku bersamanya, “..surat keputusan 028 yang dikeluarkan oleh Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, dr. Syarief Thayeb itu menjadikan sebagai tempurung: mengurung mahasiswa dalam kampus, tidak ada yang berani turun kejalan. Mahasiswa nampak lesu dan seperti kekurangan darah, tidak bergairah. Dan sejumlah pers umum pun di beredel akibat malari itu. Namun, ini kemudian dijadikan kesempatan bagi mahasiswa membuat pers kampus yang mati suri itu. Bukankah kau hadir dalam lokakarya pendidikan pers mahasiswa yang diselenggarakan oleh kampus universitas Brawijaya, Malang. yang dihadiri oleh seluruh penerbitan pers mahasiswa se-Indonesia?”
“Betul, Amri. Aku pun hadir pada saat itu. Memang pertemuan pers mahasiswa tersebut dijadikan untuk memperbaiki diri, meningkatkan kemampuan jurnalistik dan kerjasama antara sesama mahasiswa se–Indonesia. Hal itu pun dijadikan sebagai alternatif sebagai jalan keluar mengatasi kemacetan komunikasi antar mahasiswa. Oleh karen itu, aku datang kemari untuk menemui kau, Amri.”
“Baiklah, Bung. Mari kita diskusikan itu di sekretariat Salemba saja,” Amri membawaku kesebuah ruang kerja pers Salemba, “Ini dia ruang kerja pers salemba, UI. Silahkan masuk, anggap saja sekretariat pers kampusmu.”
Dalam ruang kerja itu nampak sepi, hanya satu orang mahasiswa yang tengah duduk sembari mengetik.
            “Bung, kemarilah,” Amri menunjukan sesuatu, “Ini tabloid Salemba,” kuraih tabloid itu dari tangan Amri, terlihat pada laporan utamanya berbunyi: Sistem pemilu yang demokratis masih harus diperjuangkan.
            “Tampilan tabloidnya sangat menarik, lebih menantang” kataku mengomentari. “Kalau aku boleh tahu, kenapa dinamakan Salemba?
            “Salemba, Saat itu, berdasarkan hasil rapat penasehat ahli, rektor dan para pengasuh. Nama surat kabar itu diberikan berdasarkan romantisme, bahwa peranan kampus UI yang pada awalnya terletak di Salemba telah memberikan catatan-catatan penting dan kontribusi perjuangan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, romantisme juang yang historis itu rasanya perlu diabadikan...”
“Hahaha..” Amri tertawa terbahak-bahak. “Kau, Mad, Achmadi, jauh-jauh dari Bandung hanya sekedar menanyakan romantisme Salemba saja.” Memang, selama sejam kami hanya berbincang mengenai Salemba. “Kau mau buat tulisan mengenai Salemba, Mad?”
“Hmmm,” gumamku. Aku tertawa tanpa membuka mulut.
Salemba memang menarik untuk diketahui dan dipelajari, terutama dari karikatur politiknya. Sebagian besar dari karikaturnya mengenai kebebasan. Apabila dilihat atau dibayangkan dari karikatur tersebut, nampak sang karikaturis menggambarkan sebuah kebebasan dari cengkraman, kebebasan lembaga-lembaga demokrasi dari genggaman otoritas penguasa. Dan hampir semuanya dilukiskan dalam simbol-simbol yang hampir seragam. Penggenggaman kebebasan tersebut dilukiskan dalam simbol-simbol militer oleh sang karikaturis. Dalam karikatur tersebut, nampak tampang serdadu kejam dengan gigi-gerigi kokoh tajam atau bersenjata, serdadu dengan topi baja atau sejenisnya sedang melalap mangsanya: Apakah itu pers, partai politik serta kekuatan-kekuatan politik lainnya yang ketakutan dengan mulut yang terkatup. Atau sepatu lars militer yang kokoh nan keras sebagai simbol stabilitas sedang menginjak-injak kebebasan. Seperti pada karikatur dari tabloid yang saya pegang oleh kedua tangan saat ini,  karikatur yang menggambarkan seorang serdadu bintang satu. Dalam gigi-geriginya yang tajam seperti gergaji, sang serdadu sedang memamah kebebasan pers, demokrasi, kebebasan mimbar, kebebasan berserikat, kebebasan individu dan Freedom and Peace.
 “Baiklah, Amri, kita lupakan sejenak Salemba-mu itu. Mari kita analisis dan rencanakan pergerakan melalui jurnalistik. Sebagai media propaganda untuk menyatukan kekuatan mahasiswa. Karena menurutku setelah peristiwa malari dan SK 028 yang dikeluarkan pemerintah, pergerakan mahasiswa hanya berkutat di sekitar kampus dan pergerakannya tidak masif karena aksi setiap kampus hanya dilakukan di daerahnya masing-masing. Melakukan aktivitas kampusnya sendiri-sendiri, aktivitas antara satu kampus dengan kampus yang lainnya tidak ada hubungannya. Gerakan mahasiswa benar-benar sporadis, terpecah-pecah, tidak terpadu, sendiri-sendiri, bergerak secara lokal dan terisolasi dengan masyarakat luas.  
Kau masih ingat dengan aksi ketika pada tanggal 23-26 Februari 1977 dilangsungkannya rapat kerja Rektor se-Indonesia yang mengharapkan SK 028 itu untuk dicabut, namun yang terjadi hanya semacam proses tawar menawar, bahwa: SK tersebut akan dicabut apabila statuta universitas telah disusun dan mendapatkan pengesahan dari mentri pendidikan dan kebudayaan. Yang akhirnya, di Bandung melakukan ‘Aksi Goro-goro’ karena menurut kalangan mahasiswa, hasil Raker Rektor tersebut belumlah maksimal.”
“Dan pada hari yang sama, di UI pun melakukan Aksi Poster.”
“Pada tanggal 9 juli 1977, Mahasiswa Jakarta berteriak di jalanan mengajukan protes kenaikan tarif bus kota. Mahasiswa melakukan poling pendapat mewawancarai masyarakat yang menggunakan jasa angkutan bus umum dan mahasiswa mendatangi pol-pol bus kota menahan kendaraan umum untuk tidak beroperasi keluar...”
“Karena pemerintah hendaknya mengalihkan subsidi yang selama ini dialokasikan untuk mobil-mobil dinas para pejabat dialihkan kepada bus-bus kota yang menyangkut kepentingan rakyat banyak,” menurut seseorang yang menyambar disela-sela cakapku. Yang tak lain dia adalah Dinar Simbolon, seorang aktifis perempuan dari Suku Batak. Kemudian, dia duduk disampingku ikut dalam diskusi.
Amri                 : Mahasiswa Surabaya lain lagi, mereka melakukan aksi protes
  Kepada DPRD dan walikota.
Achmadi           : Aku belum dengar aksi mahasiswa tersebut.
Dinar                : Aksi tersebut terjadi akibat kerusuhan dari penggusuran pedagang
  kaki lima.
Achmadi           : Dan mahasiswa yogyakarta, Medan dan Ujungpandang masing-
  masing membawa persoalan kedaerahan masing-masing dan sendiri-
  sendiri.
Amri                 : Lantas, apa yang akan kita lakukan untuk mempersatuka gerakan
  mahasiswa?
Achmadi           : jalan satu-satunya untuk menyatukan gerakan mahasiswa adalah dengan   
  mempersatukan gerakan mahasiswa secara simultan, nasional dan terpadu.
Dinar                : Hebat juga mahasiswa Bandung ini, gagasannya sangar revolusioner.
Amri                 : Jadi, yang kita perlukan adalah berkumpulnya semua mahasiswa untuk
  berdiskusi, dan mendapatkan pandangan yang sama, kemudian bergerak
  bersama. Begitukah, Mad?
Achmadi           : Betul, Bung.
Dinar                : Bagaimana caranya kita agar dapat mengumpulkan begitu banyaknya
  mahasiswa, Mad? Belum lagi ketatnya penjagaan kampus oleh militer.
Ahcmadi           : Tenang, tak usah risau seperti itu. Aku dan Dewan mahasiswa/senat   
  mahasiswa se-Bandung sudah memikirkannya. Jadi, pada tanggal 24-26
  Oktober 1977 kita akan mengadakan pertemuan dan mengundang mahasiswa
  nasional dengan dalih bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda 28
  Oktober. Dalam acara tersebut, saat pendahuluan di isi dengan seperangkat  
  diskusi yang mengundang berbagai tokoh nasional, dalam bidang berbagai
  kajian yang dipandang mempunyai relevansi dengan konteks permasalahan
  yang sedang dihadapi negara dan masyarakat. Bagaimana?
Amri                 : Sepakat, Bung. Salemba akan terus menyeruakan perjuangan mahasiswa.
Achmadi           : Harus, karena menulis adalah budaya mahasiswa dan persma sebagai media
  propagandanya. Baiklah, diskusi ini kita cukupkan sampai disini, aku juga
  akan bergegas ke persma kampus-kampus lain: Gelora Mahasiswa (UGM),
  Atmajaya (Unik Atmajaya), Derap Mahasiswa (IKIP Yogyakarta), Arena
  (IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta),  Airlangga (universitas Airlangga,
  Surabaya), dan kampus-kampus lainnya.
Dinar                : Hari sudah malam, menginap dulu-lah. Aku khawatir dijalan, ini
  Jakarta. Razia mahasiswa terus berjalan hingga saat ini. Tak kau
   lihat rambut gondrongmu itu?
Achmadi           : Terimakasih, Dinar, lainkali saja. Aku harus secepatnya
  mengabarkan hal ini ke kampus-kampus lain. Doakan saja agar baik-
  baik dalam perjalanan juang ini.
            Bergegaslah aku menuju kampus-kampus lain, dengan memberikan pemahaman mengenai gerakan mahasiswa seperti yang aku ceritakan pada persma Salemba, UI. Memang aku ditugaskan dari Bandung atas DM/SM untuk menggalang kesadaran kebersamaan mahasiswa nasional. Sebelum gagasan ini dibuat, mahasiswa Bandung membuat proposal  rencana pertemuan dengan nama ‘Gelora Kebangkitan 28 Oktober 1977’ dengan latar belakang pemikiran, bahwa: kehidupan bernegara pada umumnya bertujuan untuk mencapai kesejahteraan secara bersama-sama. Perlu adanya jaminan guna berjalannya sistem sosial, politik dan ekonomi secara baik sesuai dengan cita-cita bersama. Yang dalam kenyataannya masih banyak dijumpai kekurangan-kekurangan di bidang sosial, politik dan ekonomi. Bahkan sulit untuk mewujudkan cita-cita bersama dalam konsesus UUD 1945.
            Dalam hal ini, masih saja terjadi pemerkosaan atas demokrasi, kebebasan berpendapat dan hak-hak politik warga negara. Adanya kecenderungan pihak eksekutif untuk menekan kehidupan badan-badan legislatif dan kacaunya tata tugas lembaga-lembaga negara. Dalam bidang sosial, dijumpai problema-problema seperti Neofeodalisme, manipulasi jabatan dan macetnya pelaksanaan hukum. Sedangkan di bidang ekonomi, kita dihantui oleh masalah-masalah pemerataan pendapatan, rongrongan terhadap aktifitas ekonomi rakyat kecil dan penindasan oleh modal-modal besar, yang kesemuanya mewujudkan kemelaratan dan kelaparan. Ini merupakan tantangan bagi pemuda-pemudi Indonesia untuk memberikan penyelesaian yang tuntas.
Memang di satu pihak tantangan kepada pemuda-pemudi itu demikian besar, tetapi dilain pihak perlu dipertanyakan sudahkah kita miliki kesadaran nasional yang cukup dan sudahkah ada keberanian di antara pemuda-pemudi Indonesia untuk menjawab tantangan tersebut. Sungguh ironis bahwa api yang pernah dikobarkan oleh kebangkitan nasional, sumpah pemuda, semangat proklamasi dan amanat penderitaan rakyat kini telah padam.
            Begitulah semangat Mahasiswa yang telah memanggil untuk mengembalikan wajah Indonesia dengan bercermin kepada cita-cita idealisme UUD 1945. Tanggung jawab pemuda-pemudi Indonesia dengan mahasiswa sebagai bagian yang terpenting, dan tanggung jawab ini mengharuskan memiliki sikap kritis dan peka terhadap keadaan lingkungan, pengabdian masyarakat dalam berpartisipasi pada bidangnya masing-masing, dan selalu menitik beratkan perjuangan kepada aspirasi rakyat dan cita-cita bangsa.
            Oleh kerena itu, apabila dirasa dalam masyarakat telah terjadi hal-hal yang menyeleweng dari aspirasi rakyat dan cita-cita nasional, maka mahasiswa berkewajiban untuk meluruskan sesuai dengan cita-cita bangsa dalam UUD 1945 hingga tercapai dengan cara-cara yang dimungkinkan. Satu keharusan bahwa dalam melakukan perjuangan, mahasiswa selalu berjalan bersama. Seperti halnya dengan sumpah pemuda yang merupakan satu simbol persatuan di antara pemuda-pemudi Indonesia  sebagai titik tolak bagi Indonesia untuk mengusir penjajahan dengan segala manifestasinya. Oleh karena itu, jika saat ini masih terdapat manifestasi lain dalam bentuk penindasan, kematian hak-hak warga negara dan kemelaratan, mengapa kita harus lupakan Sumpah Pemuda yang pernah kita ucapkan pada tanggal 28 Oktober 1928.
            Saat seperti ini, sudah tibalah bagi pemuda-pemudi Indonesia untuk berada dalam konsepsi perjuangan bersama dalam mewujudkan cita-cita berupa Bhineka Tunggal Ika, terpisah-pisah dalam satu tujuan.
Tujuan pertemuan Bandung yang akan diselenggarakan pada tanggal 24-26 Oktober 1977 untuk menciptakan kebersamaan dan kebersatuan mahasiswa dalam melihat dan merumuskan permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini, sebagai satu simbol perjuangan bersama.

***
            Tibalah pada waktu pertemuan, hari pertama tanggal 24 Oktober 1977. Tamu undangan dari perwakilan kampus UGM, Atmajaya dan kampus dari luar Pulau Jawa sudah datang sedari malam. Tinggal menunggu yang lainnya. Memang acara pertemuan ini dimulai pada pukul 14.00 untuk panel diskusi I dengan topik: “Situasi dan Kondisi Politik Indonesia Dewasa ini” sekarang sudah pukul 12.00. Lirikan bola mata ini tak mau berhenti, kehadiran mahasiswa UI belumlah datang jua. Aku berharap sekali, Amri agar hadir dalam pertemuan ini.
            Sejam kemudian, datanglah rombongan yang diketahui dari perwakilan kampus-kampus Yogyakarta dan Surabaya. Dan tamu undangan sudah memasuki ruangan yang sudah disediakan panitia penyelenggara pertemuan Bandung. Aku masih tetap menunggu di depan kampus, berharap mereka—Dinar—perempuan marga Suku Batak, alasan mengapa aku masih menunggu dan berharap datang. Perpisahan kala itu, membuatku teringat-ingat karenanya. Seorang aktivis perempuan berjuang melawan tiran, membuatku menyukai sosok perempuan yang idealis itu. Kekhawatirannya kepadaku kala itu menyentuh hati, dengan suara lembut halusnya memberikan pandangan berbeda dengan sosok aktivis yang militan. Dinar mengingatkanku kepada cerita-cerita Ibu tentang perempuan-perempuan yang berjuang melawan penindasan. Merekalah manusia hebat, selain mengurusi rumah: masak dan mencuci, namun tetap berjuang menuntut hak-haknya. Pengecutlah bagi laki-laki yang hanya diam ketika ditindas tiran dan bukanlah manusia apabila tidak ingin melakukan pekerjaan yang berat—pekerjaan yang bermanfaat untuk masyarakat sekarang dan dihari depan. Apapun resikonya, mekipun nyawa jadi taruhannya.
            “Mad, mengapa melamun di depan kampus?” suara Amri yang datang dari samping menyadarkan dari pikiranku yang sedang melayang di dalam bawah sadar.
            “Amri, lama sekali kau datang?” kulihat arloji dilengan.
            “Maaf, Mad, aku terlambat karena banyak pekerjaan di kampus yang belum selesai. Aku sedang menggarap tabloid Salemba.
Mataku mulai melirik-lirik tanpa arah, seseorang yang aku tunggu tidak nampak. Hati ini mulai lesu, kecuali semangat juang yang terus berapi.
“Kau datang sendiri, Amri?”
“Tidak, aku datang dengan teman-teman UI dan Dinar juga.”
Hati ini bertambah besar berkobar, mendengar nama Dinar yang di ucapkan dari mulut Amri.
“Dinar? Kemana dia.”
“Dia sudah masuk bersama teman-teman yang lain. Kau sendiri bagaimana, mari kita masuk, acara akan segera dimulai.”
Dalam panel diskusi pertama dengan topik: “Situasi dan Kondisi Politik Indonesia Dewasa ini” dalam pokok pembahasannya mengenai permasalahan: pertama, perbandingan sejarah dari mekanisme sosial politik demokrasi dalam kedaulatan rakyat dan hak, wewenang dari lembaga-lembaga demokrasi. Kedua, persoalan-persoalan apa saja yang akan dihadapi sekarang dan yang terakhir mengenai harapan-harapan kita untuk masa yang akan datang dalam kehidupan politik.
Dalam panel diskusi pertama ini berjalan selama sembilan jam, berakhir pada pukul 23.00. Semua peserta pertemuan Bandung memasuki ruang istirahat yang telah disediakan panitia. Langkah tengah sibuk mencari, diantara banyaknya mahasiswa peserta pertemuan, sulit untuk menemukan. Kuterus mencari dengan sorotan mata tajam melirik setiap wajah mahasiswa. Tidak ada! Kemana? Kucoba bertanya,
“Kawan, kau lihat mahasiswa dari UI?” kataku kepada seorang mahasiswi dari Surabaya.
“Entahlah, Bung. Mungkin masih di dalam ruang pertemuan.”
“Baiklah, terimakasih.”
Langkahku memasuki ruang pertemuan, nampak mahasiswa-mahasiswi UI tengah bercakap dikursi membentuk lingkaran. Entah apa yang mereka diskusikan. Kucoba menghampiri, salah-satu diantara mereka melihatku kemudian mengangkat badan meninggalkan percakapan dan satu-persatu diantara mereka mengikutinya. Hanya Amri dan Dinar masih dalam posisi duduk. Amri menoleh kebelakang—kearahku, dan mulai angkat bicara.
“Ai, Bung...” Amri melambaikan tangan, dan Dinar melihatku. “...Tadi siang kau menanyakan Dinar, ini dia orangnya,” Amri mengangkat badan, Dinar merundukan wajah dan tersenyum kecil. Amri melangkahkan kakinya menghampiriku dan tangan kanannya memegangi punda kiriku. Seraya berbisik dengan mulut disamping telingaku dia berkata, “Aku masuk ruang istirahat dulu, kau temanilah Dinar,” Amri meneruskan langkahnya keluar ruang pertemuan.
Aku duduk disamping kursi Dinar yang tengah menatap kedepan mimbar. Membutuhkan sedikit waktu untuk aku angkat mulut, bercakap dengan Dinar. Yang akhirnya, Dinar yang terlebih dahulu angkat bicara,
“Tadi siang kau mencariku, Mad,” katanya dengan suara yang pelan dan halus.
“Betul, aku menunggu kehadiran teman-teman UI di depan kampus...” kataku tergegap-gegap. “... Bagaimana Diskusi hari pertama ini?” aku mengalihkan pembicaraan, tak mau aku mempersoalkan tadi siang dengan keadaan gugup seperti ini.
“Memang dewasa ini Indonesa tengah menghadapi situasi sosial politik ekonomi yang amat rumit. Kemelut yang melanda atas penyelewengan kekuasaan yang telah menghianati Undang-undang 1945 dan Pancasila Kerap terjadi di pelosok daerah Indonesia. Dan kemudian, ...” aku menatap wajah Dinar yang tengah serius membicarakan tentang negara. Bibir yang tipis menari dan menyanyi menyuarakan perjuangan bangsa. Aku tak habis pikir, perempuan yang secantik ini dapat memikirkan sebuah perjuangan yang belum tentu seorang lelaki melakukannya. Aku hanya diam mendengar, tidak berkomentar. Sampai pada akhir pembicaraan, Dinar nampak lelah mengantuk. Kedua tangannya menyeka wajahnya, dan menutup mulut saat menahan uap yang keluar.
“Sepertinya kau mengantuk, Dinar,”
“Ya, mungkin. Sebaiknya kita istirahat saja.”
“Baiklah, esok kita lanjutkan kembali. Karena sekarang sudah larut malam, pagi-pagi kita sudah mulai pada panel diskusi yang kedua.” 
Aku dan Dinar membangkitkan badan dari kursi dan meninggalkan ruang pertemuan. Kuantarkan Dinar menuju ruang istirahat perempuan, dan aku pun pergi menuju peristirahatanku.
***
           
            Bandung, 25 Oktober 1977,
            Pagi ini nampak cerah, bias cahaya mentari menyinari ruang pertemuan. Walaupun pagi ini sangat cerah, Bandung tetap saja dingin. Mahasiswa se-Indonesia mulai memasuki ruang pertemuan. Tepat pukul jam delapan acara akan dimulai, dengan topik: “Situasi dan Perkembangan Ekonomi Indonesia Dewasa ini.” Seorang pembawa acara perempuan dengan memegang secarik kertas menghentakan suara dari mulutnya menandakan panel diskusi II dimulai.
            Dalam diskusi kali ini membahas: bagaimana perbandingan sejarah dari kebijaksanaan dan pola-pola dasar ekonomi kita, kedudukan azas kekeluargaan dalam pola pemikiran pengetahuan ekonomi modern yang kini kita terapkan, dan harapan-harapan tentang kehidupan sosial dimasa mendatang..
            Di Orde Baru ini, strategi ekonomi Indonesia menganut mahzab “Trickel down effect” dalam teori ekonomi disebut menetes ke bawah. Paradigma Trickel down effect ini melandaskan pada asumsi bahwa terakumulasi kapital dan kekayaan dalam jumlah besar, lambat laun akan menetes pada lapisan bawah.
Dari kampanye penanaman modal yang dilansir pemerintah melalui Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) sejak awal tahun 1970-an, mengalirlah para pemodal untuk memanfaatkan kesempatan emas dalam memperebutkan peluang yang ‘bermurah ramah’ dari pemerintah Indonesia. Penerapan kebijaksanaan ekonomi yang untuk menarik modal itu, tentu segera mengubah suasana Indonesia menjadi negri yang membangun. Lahir industri macam-macam yang penuh dengan proteksi pemerintah dan  berbagai praktik monopoli.
            Konsentrasi aset dan modal pada usaha-usaha besar, akhirnya hanya akan memberikan kesempatan yang makin berkembang bagi para pemodal raksasa. Dan setelah kekayaan terkumpul pada beberapa gelintir orang, mana mungkin dibagi ramai-ramai atau terdistribusikan kepada rakyat yang masih dihimpit oleh kemiskinan struktural tanpa harus mengubah pola dasar kebijaksanaan ekonomi makro. Oleh karena itu, di Orde Baru ini, pembangunan itu untuk siapa? Jangan harap akan terjadi tetesan, merembes pun bagaikan sebuah mimpi.      Pembangunan itu diarahkan  ke dunia kapitalis yang sangat menguntungkan kaum pemodal, dan makin memperparah posisi golongan ekonomi lemah.
Diskusi kedua ini berakhir pada pukul satu siang. Yang kemudian peserta pertemuan beristirahat sejenak dan melanjutkan kembali pada panel diskusi yang ke III dengan topik: “Situasi Perkembangan Sosial Indonesia Dewasa ini” dimulai pukul jam dua siang.
Dalam panel diskusi ini, cukup banyak perdebatan yang sangat sengit mengenai korupsi, skandal, kemewahan, pemborosan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Dan peserta pertemuan ini, ingin mempermasalahkan sekitar hal-hal mengenai undang-undang perlindungan usaha kecil, praktik kapitalisme yang tidak pada tempatnya, pembangunan ekonomi yang terhindar dari korupsi, pemborosan dan monopoli, kesewenang-wenangan dan sebagainya. Dalam hal ini, peserta menyimpulkan bahwa: perlunya diadakan perubahan strategi pembangunan yang sekarang dilaksanakan menjadi strategi pembangunan yang lebih mengutamakan sifat kerakyatan dan manusia seutuhnya yaitu melalui pendekatan pendidikan dalam arti seluas-luasnya.
Tepat pukul sembilan malam, acara diskusi yang ke tiga sudah berakhir. Dan dilanjutkan dengan sesi Pandangan Umum dalam Sidang Pleno. Yang kemudian selesai pada pukul 24.00. dua hari sudah diskusi dalam pertemuan mahasiswa se-Indonesia ini berlangsung. Dan sesi terakhir dalam acara ini tinggal menunggu esok hari dalam Perumusan Permasalahan. Esok adalah hari penentuan bagaimana gerakan mahasiswa ini menjadi masif. Dan dapat menyuarakan perjuang dalam pembebasan bangsa dari tiran, Bersambung...