Friday, December 26, 2014

Surat Untuk Ibu Pertiwi, Kabar Dari Rakyat Ujung Kulon

Kepada Ibu Pertiwi, surat ini aku sampaikan. Dengan rasa hormatku padamu, izinkan aku menceritakan sedikit kisah kepadamu, melihat sisi lain bangsa ini. Saya akan tunjukan kepada Ibu Pertiwi dan seluruh anak bangsa, bahwa kemerdekaan yang telah sampai pada 69 Tahun ini, belum dirasakan oleh masyarakat. Salah satunya yang berada di ujung barat pulau Jawa. Ya, di Ujung Kulon. Kecamatan Sumur, Pandeglang. Mungkin, air mata ibu akan berlinang juga terlara-lara mendengar dan melihat kejadian ini. Melihat hutan, gunung, sawah dan lautan simpanan kekayaan. Namun, mereka tidak merasakan kekayaan tersebut.

Dimulai pada tanggal 3 oktober 2014, tepatnya hari Jumat Pukul 11:00, nelayan yang bernama: Damo, Rahmat dan Misdan di tangkap oleh petugas Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Dengan tuduhan menjaring hewan yang dilindungi dan masuk dalam kawasan Ujung Kulon.

Lihatlah, wahai Ibu Pertiwi..!!. Saya pilu, melihat kejadian ini. Indonesia memang negara yang sangat kaya, aku akui itu. Namun, tidak untuk warga Ujung Kulon. Mereka tidak bisa merasakan dan menikmati kekayaan alam yang ada. Padahal, Damo, Rahmat dan Misdan hanya mengambil beberapa ikan untuk dijual, untuk menghidupi keluarganya. Mereka melaut terpaksa karena untuk mempersiapkan kebutuhan hari Raya Idul Adha. Peralatan untuk menangkap ikan pun masih tradisional. Bahkan, diantara mereka bertiga hanya dua sampai tiga kali melaut. Sebelumnya mereka berprofesi sebagai tani. Akan kebutuhan yang mendesak, mereka terpaksa melaut.

Apabila masyarakat Ujung Kulon tidak bisa menikmati kekayaan alam, lantas untuk siapa kekayaan alam tersebut?. Aku masih ingat apa yang Ibu katakan padaku. Bahwa ”Bumi, air dan udara dan kekayaan alam yang ada didalamnya dikuasai oleh negara, dan dipegunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Namun liahtlah, itu tidak seperti kenyataan yang Ibu katakan. Lantas, kekayaan alam tersebut untuk kemakmuran dan kesejahtraan rakyat yang mana? Aku tak kuasa apabila mendengar dan melihat keadaan seperti ini. Apakah dengan alasan melindungi hewan dan hutan? Lantas, apakah mereka lebih mementingkan hewan dari pada kehidupan manusia?. Tak kusangka, air mataku berlinang. Apakah ibu bisa merasakannya juga?, Kepahitan Rakyat Ujung Kulon.

Melihat kejadian itu, harus ada tindakan. Oleh karena itu, Saya dan teman-teman turun kejalan bersama masyarakat Ujung Kulon, keluarga korban dan organ mahasiswa. Pada tanggal 17 November 2014 menuju pengadilan Pandeglang, bertepatan dengan sidang yang pertama. Ada yang membuat saya tercengang. Seseorang yang berorasi dengan penuh emosional. Terdengar kekecewaan terhadap pemerintah; warga Ujung Kulon yang tertangkap karena hanya mengambil kepiting untuk menghidupi keluarganya. Namanya Kusroni, salah satu anak bangsa yang mempunyai semangat juang. Hati saya pun bergetar ketika mendengar orasinya. Membuat saya yakin akan perjuangan ini. Membantu pembebasan Rakyat yang terbelenggu TNUK.

Setiap ada persidangan kami pun hadir untuk melakukan aksi. Namun, pada tanggal 9 Desember 2014, sidang yang ke-4 kalinya ini Mengalami musibah terhadap warga Ujung Kulon. Mobil yang mengantarkan warga untuk aksi di pengadilan terjadi kecelakaan. Yang berakibatkan 20 orang warga luka-luka, 17 orang luka ringan dan 3 orang luka parah. Namun, aksi untuk mendukung pembebasan Damo Cs harus tetap berjalan. Lagi-lagi saya dibuat tercengang oleh Kusroni. Ketika berorasi, dia terlihat menggeram. Bahkan, dengan lantang dan tegas dia berteriak “saya rela mati, asal Damo, Rahmat dan Misdan di bebaskan sekarang juga”. Mungkin dia  terpukul melihat warga Ujung Kulon mengalami kecelakaan. Demi membantu pembebasan mereka harus mengalami rasa sakit dan berdarah-darah.

Lihatlah Ibu Pertiwi, mereka harus mengeluarkan darah demi memperjuangkan pembebasan Damo, Cs. Dan tidak hanya itu, mereka berjuang agar tidak ada lagi Damo-Damo, Cs selanjutnya yang ditangkap oleh TNUK. Dan itu harus diperjuangkan, walau nyawa jaminannya. Agar hal ini tidak terjadi lagi oleh anak-anak bangsa selanjutnya.

Kesedihan dirasakan ketika mengunjungi korban yang parah di rawat RS Pandeglang. Aku tak kuasa melihatnya Ibu. Aku tak bisa menahan kepahitan ini. Apalagi melihat raut wajah keluarga korban, yang terpukul melihat kejadian ini. Cobaan apalagi yang akan kau berikan ya Tuhan. Sudah cukup derita ini, derita terhadap Rakyat Ujung Kulon. Sehingga saya terisak-isak, menghentikan sejenak menulis ini. Tanganku bergetar, sehingga tulisanku dengan pena ini tak berarah . Kertas untuk menulis pun tak kusadari tertetes air mata, sehingga melunturkan kata yang tertulis pena.

Saya mengalami kelemahan tubuh, karena sering bergadang. Namun, hal ini tidak mengurungkan semangat perjuangan. Pada malam sabtu tanggal 20 Desember 2014, saya berangkat menuju Ujung Kulon Bersama Teman-teman untuk menghadiri Konsolidasi Rakyat Ujung Kulon yang akan dilaksanakan pada hari Minggu. Setelah empat jam perjalanan, saya sampai pada tujuan. Bertempatkan di kampung Cikaung, desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, Pandeglang. Pertama saya injakan kaki disana, saya melihat baliho yang sangat besar yang bertuliskan tuntutan-tuntutan Rakyat Ujung Kulon: Hentikan intimidasi dan kriminalisasi rakyat Ujung Kulon; Bebaskan Damo, Rahmat dan Misdan sekarang juga; Kembalikan hak-hak rakyat Ujung Kulon atas tanah yang dirampas Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dan Laksanakan reforma agraria sejati. Selain itu saya melihat dan beristirahat dipanggung sederhana, beratapkan terpal dan darisan meja-meja untuk alas.

Pada hari minggu pukul sebelas acar pun dimulai. Banyak sekali masyarakat yang hadir dalam acara ini, yakni dihadiri oleh dihadiri oleh 14 Desa yang terdiri dari Kecamatan Cimanggu, dan Sumur. Selain itu, hadir pula organisasi mahasiswa dan lembaga yang berada di Banten antara lain: KUMAUNG, JMHI, FPPI, HIMALA UNMA, MAPALAUT, TARUNG, JKPP, SAINS, HUMA, LBH JAKARTA, SAHABAT Ujung Kulon, STUK, AGRA. Serta hadir tokoh Banten Selatan: H. Ali Balfas, Tarim, M. Sahri. Banyaknya orang yang mendukung membuat perjuangan ini semakin kuat. Lihatlah Ibu Pertiwi, warga Ujung Kulon tidak sendiri. Kami berkumpul serta menyatukan pikiran dan kekuatan  semangat juang untuk mendapatkan kembali hak-hak Rakyat Ujung Kulon yang dirampas oleh TNUK. Hal ini membuat saya tak terlarut dalam kesedihan. Namun, membuat saya dan Rakyat Ujung Kulon semakin bersemangat dalam berjuang.

Dalam acara ini, banyak orang yang berpidato dan berorasi. Namun, ada satu orang yang lagi-lagi menggetarkan hati saya, Ibu Pertiwi. Dia adalah ibu Jumsi’ah, Ibu Pertiwi!. Seorang nenek-nenek yang semangat juangnya tak pudar sama sekali. Ketika beliau berorasi, dengan pekikan emosional, membuat tangan saya bergetar ketika memegang kamera seraya merekam. Teriakannya yang bergumam, terdengar keras oleh telinga saya. Seketika hati saya menjadi bergetar mendengarnya, dan menahan isak haru, menahan air mata yang akan menetes. Saya berpikir, beliau walaupun sudah tua, namun, semangat tak gentar. Dan saya yang masih muda, tak pantas untuk lemah dalam berjuang.

Setelah itu, dilanjutkan dengan ceramah yang suarakan oleh KH. Sarmedi, salah satu tokoh agama islam di Ujung Kulon yang ikut berjuang. Tidak hanya berceramah, namun ikut berjuang dari awal mengikuti perkembangan persidangan. Bahkan ikut melakukan aksi kejalan. Membuat saya terkenang pada tokoh-tokoh ulama seperti KH. Achamad Chatib dan H. TB. Emed putra Kiyai Asnawi Caringin. Pada saat pemberontakan ulama-komunis Tahun 1926 melawan kolonial Belanda dan para pejabat: Bupati atau Pamong Praja(berasal dari luar Banten). yang selalu tunduk pada kehendak pihak kolonial, sekalipun mengorbankan kepentingan rakyat. Ibu Pertiwi, Mungkinkah sejarah akan terulang kembali!!.

Kemudian, setelah malam tiba. Masyarakat Ujung Jaya menonton Film Soekarno untuk menghibur dan menyemangati perjuang ini. Dan masyarakat pun antusias melihat beramai-ramai sampai pada pukul sebelas malam, diakhiri dengan turunnya hujan.

Esok Hari, saya mengunjungi keluarga Damo dan Rahmat, yang memang masih bersaudara serta rumahnya pun berdekatan. Pertama saya bertemu dengan kakak ipar dari Damo, yaitu Bapak Usup. Saya mendengarkan cerita bagaimana kronologi Damo, Rahmat dan Misdan sampai bisa tertangkap oleh petugas TNUK. Setelah itu, saya menemui istri dari Damo di rumahnya yang sederhana; rumah panggung dan berdindingkan bilik. Dengan suara tertahan-tahan, Juminah bercerita tentang kehidupannya setelah ditinggal Damo yang di bui. Juminah yang sedang hamil muda ini hanya dua kali berjumpa dengan suaminya di bui. Bukan karena tidak mau, namun Juminah tidak punya cukup uang ongkos ke Pandeglang. Ketika saya bertanya dengan menyebutkan nama Damo, wajahnya pucat dan lemas. Seketika, saya pun ikut merasakan pukulan dari keterpisahan mereka berdua. Melihat hal itu, saya tidak banyak bertanya.

Lihatlah Bu..!! keluarga yang kesakitan; terlara-lara. Apakah tega melihatnya? Padahal, Damo, Rahmat dan Misdan berjuang untuk menghidupi keluarganya. Karena peraturan yang tidak memihak pada Rakyat Kecil, akhirnya mereka yang menjadi korban.

Saya berjalan berserta kepiluan menuju rumah Opur yang menjadi korban kecelakaan yang paling parah. Sesampainya dirumah yang sama keadaanya dengan rumah Damo, saya bertemu Opur yang tengah berbaring lemas. Dengan bermaksud menyambut saya, dia mengangkat perlahan-lahan dengan menahan sakit lengan kanannya sembari berjabatan. Luka-luka yang masih tampak di kepala, lengan kanan dan kiri menunjukan sakitnya begitu parah. Ditambah dari keterangannya bahwa lehernyapun patah sehingga tidak bisa banyak bergerak. Saya langsung berfikir dalam benak hati, mungkin dengan kecelakaan ini akan membuat Opur akan kehilangan semangat juangnya. Namun, sangkalan itu tidak tepat. Dengan terjadinya kecelakaan ini, yang membuat dirinya terbaring tidak menggoyahkan perjuangannya dan tidak menyesali kecelakaan tersebut (Hal tersebut dikatakan juga oleh korban-korban kecelakan lainnya).  Opur yang berprofesi petani ini akan tetap berjuang walau nyawa menjadi taruhannya. Demi mengembalikan hak-hak Rakyat Ujung Kulon yang terampas TNUK.


Ibu Pertiwi, ini Perjuangan Rakyat Ujung Kulon yang gigih. Mengorbankan nyawanya untuk membebaskan belenggu TNUK. Tidak hanya Opur, namun ribuan warga Ujung Kulon yang terdiri 14 Desa dari kecamatan Sumur dan Cimanggu yang akan berjuang sampai titik penghabisan untuk mendapatkan hak-haknya walaupun sampai berdarah-darah. Jangan sampai Rakyat Ujung Kulon menjadi hakimnya sendiri: Utang padi dibayar padi; Utang ikan dibayar ikan; Utang darah dibayar darah. Jangan sampai semua itu dipaksa terjadi di Bumi Ibu Pertiwi..!!.(Candra)

Sunday, December 21, 2014

Kronologis Pembubaran Pemutaran film SENYAP di Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Banten Raya (STISIP BR)

8 Desember 2014, Mahasiswa STISIP BR Mohammad Khotim Ali mendaftar untuk mengadakan pemutaran film senyap melaluiwww.filmsenyap.com. Rencananya, pemutaran akan dilakukan di kampus .
10 Desember 2014 bertepatan dengan hari peringatan Hak Asasi Manusia (HAM) dilakukan pemutaran film Senyap karya Sutradara Joshua Openheimer di seluruh kota Indonesia, kecuali di kampus STISIP BR, Sebab paket film belum dikirimkan.
11 Desember 2014, panitia mengadakan diskusi untuk mengkaji film tersebut dengan bahan sinopsis film yang diperoleh dari internet.
14 Desember 2014, panitia mendapatkan kiriman paket yang berisi satu keping CD Film Senyap, brosur pengantar dan poster film.
15 desember 2014, panitia mengadakan nonton bareng (nobar) dan pengkajian ulang mengenai film. Setelah itu diputuskan bahwa film akan diputar dan langsung menyusun pembagian kerja.
16 Desember 2014, panitia mengirim surat pemberitahuan kepada pihak akademisi untuk permohonan peminjaman tempat. Izin lisan diberikan Yayan selaku pihak akademik STISIP BR dan merekomendasikan ruangan kosong dan boleh dipakai. 
16 Desember 2014, panitia penyelenggara menyebarkan surat undangan ke tiap-tiap kampus dan organisasi ekstra yang berada di Pandeglang dan sekitarnya. 
18 Desember 2014, pamflet acara film Senyap di tempel di majalah dinding (mading) kampus. Kemudian pada malam harinya, panitia kembali mengadakan rapat, nobar kembali dan diskusi untuk membahas soal isi dan teknis acara.
19 Desember 2014, pamflet yang telah ditempel hilang. Menurut Yana, pengelola kantin STISIP BR, pamflet dicabut oleh Masroni, pihak akademik.
20 Desember 2014, 4 aparat kepolisian sudah berada di Kampus STISIP BR untuk menanyakan acara pemutaran Film SENYAP kepada pihak akademik.
pihak Kasat Intelkam polres Pandeglang menelpon salah satu panitia penyelenggara untuk datang dan menghadap kepala kasat Intelkam Polres Pandeglang.
Pukul 10.36 WIB Giant Wildani mendatangi kasat Intelkam Kampus. Dalam penuturannya, semalam pihak Intelkam mendapat laporan soal akan diadakannya pemutaran Senyap yang dianggap beresiko. Akhirnya, pihak kampus membatalkan izin lisan yang sudah diberikan untuk pemutaran Senyap. Kemudian, aparat kepolisian mendatangi kampus STISIP BR untuk mengawasi agar pemutaran film Senyap dibatalkan. 
Dengan alasan keamanan, pihak kampus beserta Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tidak mengijinkan pemutaran Film SENYAP di kampus STISIP Banten Raya, karena sebelumnya ada intimidasi dari aparat.
Pukul 19:00 WIB ketua RT Perum Mandiri Asri tempat sekretariat PERMAKS bersama anggota TNI mendatangi kontrakan yang kami tinggali. Mereka menanyakan kegiatan kami sehari-hari, dan mengatakan ada pihak aparat yang melapor ke ketua RT bahwa kegiatan kami berbau unsur komunisme. 
Pukul 23:30 WIB BEM meminta pertemuan dengan panitia penyelenggara, disitu juga hadir pihak akademik, Masroni.
BEM menuturkan karena alasan keamanan dan kampus tidak mau memberikan ijin, BEM menolak untuk pemutaran film SENYAP di kampus STISIP BR.
Situasi menjadi tegang ketika pihak pihak akademik yg diwakili Masroni mengatakan kepada Muhamad Khotim Ali kejadian ini membuat malu Kampus, dan dia mengancam akan mengeluarkan Muhamad Khotim Ali dari Kampus STISIP BR.

Konsolidasi Rakyat Ujung Kulon, Memperjuangkan Hak Atas Tanah



Dari perintah seseorang MC dengan menggunakan Sound, sejumlah masyarakat sekitar Ujung Jaya, tamu undangan dan tokoh masyarakat Ujung Kulon,  akhirnya  berdatangan dan memenuhi lapangan dan duduk di kursi yang sudah disediakan dalam acara Konsolidasi Rakyat Ujung Kulon, berada di kampung Cikaung, Desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, Pandeglang. Minggu(21/12).

Selain Desa Ujung Jaya, dalam Konsolidasi Rakyat Ujung Kulon ini dihadiri oleh 14 Desa yang terdiri dari Kecamatan Cimanggu, dan Sumur. Selain itu, hadir pula mahasiswa, organisasi dan lembaga yang berada di Banten antara lain: KUMAUNG, JMHI, FPPI, HIMALA UNMA, MAPALAUT, TARUNG, JKPP, SAINS, HUMA, LBH JAKARTA, SAHABAT Ujung Kulon, STUK, AGRA.

Dalam baliho yang terdapat dalam acara tersebut, tertuliskan tuntutan-tuntutan masyarakat antara lain:
  1. Hentikan intimidasi dan kriminalisasi rakyat Ujung Kulon
  2. Bebaskan Damo, Rahmat dan Misdan sekarang juga
  3. Kembalikan hak-hak rakyat Ujung Kulon atas tanah yang dirampas Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), dan
  4. Laksanakan reformasi agraria sejati


Kekecewaan tampak dari masyarakat, karena tidak hadirnya Haryono sebagai kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon(BTNUK), ataupun petugas dan perwakilan BTNUK. “Inalilahi waanainalilahirojiun” tutur Kamirudin, selaku Kepala Desa Ujung Jaya. Masyarakat hilang kepercayaannya terhadap petugas TNUK yang tidak mendukung dan membantu masyarakat Ujung Kulon.

Teriakan-teriakan masyarakat yang hadir terdengar begitu keras ketika mendengar pidato-pidato dan orasi-orasi yang disampaikan oleh tokoh masyarakat Banten Selatan. Semangat yang disampaikan oleh tokoh Banten Selatan, membuat masyarakat semakin yakin akan perjuangan untuk membebaskan nelayan yang ditangkap yakni, Damo, Rahmat dan Misdan. Dan memperjuangkan hak-hak rakyat Ujung Kulon atas tanah yang dirampas TNUK. “Allah tidak akan merubah nasib seseorang, jika bukan kita sendiri yang merubahnya. Perubahan itu perjuangan, usaha untuk mengambil kembali tanah kita itu perjuangan” ucap Sahri, selaku Tokoh Banten Selatan.

Budi, dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria(AGRA) menghimbau agar masyarakat tidak perlu takut terhadap BTNUK, karena jumlah masyarakat Ujung Kulon lebih banyak dari petugas TNUK.  Selain itu, didukung oleh Aktivis, mahasiswa dan lembaga atau organ yang mendukung, menambah kekuatan massa lebih banyak dan kuat.

Tidak hanya “kaum Adam” yang semangat dalam perjuangan ini, “kaum Hawa” pun tak kalah semangatnya. Seperti Jamsi’ah yang berorasi, memberikan semangat kepada ibu-ibu agar ikut berjuang untuk mengembalikan hak-hak rakyat Ujung Kulon. Jamsi’ah menuturkan bahwa dirinya rela berkorban, agar tidak ada lagi warga yang ditangkap seperti yang terjadi terhadap Damo. Selanjutnya, warga sepakat untuk membentuk organisasi wanita Ujung Kulon.

Dalam acara Konsolidasi Rakyat Ujung Kulon, dimeriahkan pula oleh seseorang mahasiswa yang membacakan puisi ciptaan Wiji Thukul, Sajak Pertemuan Mahasiswa, menghibur dan memberikan semangat kepada masyarakat Ujung Kulon.(Candra)


Wednesday, November 12, 2014

Tanah Untuk Rakyat! Tanah Untuk Penggarap



Dengan menggunakan caping  sejumlah pemuda dan petani dari Himpunan Petani Mekarjaya(HTM), Front Perjuangan Pemuda Indonesia(FPPI), dan Jalak Muda berkumpul melakukan aksi di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pandeglang, Rabu(12/11). Massa aksi yang berjumlah sekitar lima belas orang ini melakukan aksi protes penolakan perpanjangan Hak Guna Usaha(HGU) PT.Cibiuk Cibogo(PT.BIBO).  Tidak Hanya di depan kantor DPRD, massa aksi dilakukan di beberapa instansi pemerintah lainnya seperti di Dinas Pertanian dan Perkebunan, Badan Penyelenggara Perijinan Terpadu(BPPT), dan Kantor Lingkungan Hidup.
                Para demonstran menuntut pemerintah kabupaten pandeglang untuk mencabut rekomendasi izin kontrak HGU PT.BIBO, karena pengelolaan kebun karet warisan belanda tersebut sangat jauh sekali untuk mensejahtrakan dan melepaskan kemiskinan masyarakat disekitar perkebunan. “Tidak hanya memeras keringat masyarakat dengan  hanya memberikan upah sebesar dua puluh ribu perharinya kepada pekerja, tapi juga merusak lingkungan sekitar perkebunan terutama sungai yang terkena limbah dari industri pengelolaan karet mentah yang dikelola PT.BIBO” ungkap Andok sebagai mantan pekerja dan masyarakat mekarjaya.
                “Ini bukan kali pertama kami melakukan aksi, sebelumnya juga sudah dilakukan dan kami akan terus melakukan aksi sampai pemerintah menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di masyarakat pandeglang” tegas Gian selaku Korlap Aksi. Gian juga menambahkan, bahwa di Jakarta dan Sulawesi juga menggelar aksi atas solederitas yang dilakukan FPPI untuk mendorong Badan Pertanahan Nasional(BPN)  Pusat untuk menyelesaikan konflik agraria yang sedang terjadi di mekarjaya, dan aksi solideritas tersebut juga untuk memberikan semangat kepada masyarakat mekarjaya untuk terus berjuang sampai tanah digunakan untuk kepentingan rakyat.
                Aksi massa pun menuntut agar dengan segera mendistribusikan tanah-tanah yang sudah teridentifikasi sebagai tanah terlantar di Pandeglang untuk petani sebagai upaya menciptakan pemerataan kesejahtraan dan keadilan sosial, sesuai dalam Undang-Undang Pokok Agraria(UUPA) No.5 Tahun 1960 yang mendasar pada UUD 1945 pasal 33 ayat 3 bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. PT.BIBO yang menguasai lahan perkebunan yang luasnya meliputi dua Kabupaten, yakni Kab.Pandeglang dan Kab.Lebak sangat jauh sekali dari tujuan UUPA dan hanya mensejahtrakan segelintir orang saja, Lahan yang seluas 530,23Ha perkebunan karet menurut rekomendasi dari Badan Pertanahan Nasional tahun 1989 perlu dikaji ulang.
Situasi para massa aksi semakin memanas ketika massa tidak bisa menemui perwakilan dari DPRD Kab.Pandeglang, yang dihalangi oleh Satpol PP dan polisi keamanan yang sedang mengawal aksi massa. Menurut Pak Sarno selaku polisi yang mengawal aksi menuturkan “Didalam gedung sedang melakukan sidang paripurna, sehingga tidak bisa datang menemui aksi massa”. Karena tidak bisa menemui perwakilan dari DPRD, Para aksi massa memberikan surat pemberitahuan untuk melakukan audiensi dengan DPRD Kab.Pandeglang.
Dalam akhir orasinya, demonstran menuntut akan melakukan aksi kembali dengan massa yang lebih banyak apabila tuntutan mereka terhadap PT.BIBO dalam menghentikan kontrak HGU tidak dilakukan secepat mungkin.(Candra)

Monday, November 10, 2014

Suara Hati Pada Ibu Pertiwi

Nurhadi Candra Ningrat


Terhempas angin laut
Riak air menghantam karang
Merias indah pantai 
Lenyapkan pekik-pekuk problema sosial

Pekikan hati nan keras
Sekeras hantaman karang
Lenyap dengan panorama pantai
cipta sang ilahi beri hati

samudra membentang cakrawala
terdengar siak camar
mengamati relung hati
lihat arus lenyapkan rusuh hati
  
rasa karsa dalam diri
berbakti pada negri
tegar menghadapi
demi ibu pertiwi.

Tuesday, October 28, 2014

Gelora Semangat Sumpah Pemuda Untuk Indonesia



Tiga ratus limapuluh tahun lebih Indonesia dijajah oleh negara-negara kolonial, Belanda dan Jepang. Penindasan dan penghisapan atas tanah air dan Rakyat Indonesia dipraktekan selama itu oleh negara-negara kolonial, terutama kolonial Belanda. Berawal dari monopoli perdagangan Verenigde Oostindische Compagnie( VOC) di Nusantara, tanam paksa (cultursteel), kerja paksa; kerja rodi sampai dengan Romusha yang dilakukan kolonial Jepang terhadap Indonesia, tampaknya tidak mampu menyadarkan Rakyat Indonesia untuk melawan menuntut kemerdekaan seratus persen seperti gagasanya Tan Malaka dan Jenderal Soedirman.
 Ketidakberdayaan Bumiputra (Indonesia) untuk melawan kolonial Belanda pada waktu itu, dikarenakan belum adanya kaum intelektual yang lahir dari masyarakat Bumiputra, kebodohan adalah penyebab utamanya. berawal dari diberlakukanya politik etis pada abad XX di Hindia Belanda (Indonesia) dan pendidikan modern untuk masyarakat Bumiputra, muncul beberapa tokoh pembaharu dan kaum intelektual Bumiputra, seperti Thirtoadisoerjo, Soekarno dan beberapa tokoh lainya. Sebelum adanya kaum intelektual dan tokoh pembaharu di Hindia Belanda, dan sebelum paham nation-state terkenal di Hindia, perlawanan terhadap kolonial Belanda yang terjadi di beberapa daerah bukan atas nama Indonesia, melainkan atas kepentingan daerahnya masing-masing yang sudah sangat membenci kolonial belanda atas perlakuan yang semena-mena terhadap Bumiputra, misalnya pada perang diponegoro, pemberontakan petani di banten, atau perlawanan terhadap kolonial belanda di aceh dan dibeberapa daerah lainya. Baru kemudian setelah munculnya kaum intelektual dan tokoh pembaharu di Hindia, serta Bumiputra yang mendapat pendidikan, konsep mengenai Bangsa dan nasionalisme atau paham tentang kecintaan terhadap tanah air mulai terkenal di Hindia. Perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda menjadi lebih masif dan serentak, serta memiliki tujuan yang sama yaitu menginginkan Indonesia merdeka.
Diawali perlawanan pemuda, buruh dan tani pada tahun 1926 yang di pelopori Partai Komunis Indonesia (PKI) menandakan bahwa sudah ada gagasan nasional pada bumiputra di Hindia-Belanda. Dua tahun kemudian Kongres pemuda II di gelar dalam dua hari: 27-28 Oktober 1928 di batavia (Jakarta), diiringi dengan pertama kalinya kehadiran lagu kebangsaan Indonesia yang diciptakan Wage Rudolf Supratman melalui biola yang menjadikan gelora semangat juang pemuda waktu itu kian memuncak. Pada saat itu pula pemuda menyatakan diri bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu Indonesia. Menunjukan bahwa rakyat Indonesia benar-benar menginginkan suatu negara yang merdeka, Trilogi akan kedahsyatan yang melahirkan semangat juang para pemuda pada zaman kolonial Belanda.
Delapan puluh enam tahun sumpah pemuda terlewati, namun akankah sama sumpah pemuda waktu itu dengan keadaan Indonesia hari ini Mengenai: Tanah Indonesia, Bangsa Indonesia Dan Bahasa Indonesia. apakah hari ini indonesia masih memperjuangkan tanah indonesia?, apakah sampai sekarang indonesia masih berbangsa yang satu?, apakah sampai sekarang indonesia menjunjung bahasa persatuan? Ini yang kemudian menjadikan sebuah refleksi bagi seluruh rakyat indonesia akan perjuangan mempertahankan tanah indonesia, dan persatuan bangsa Indonesia, terutama bagi pemuda terpelajar hari ini.
Tiga ratus lima puluh tahun dijajah oleh bangsa asing serta hidup dalam kemiskinan dan kebodohan ternyata tidak mampu memberikan pelajaran bagi bangsa ini, lagi-lagi kemiskinan dan kebodohan serta bangsa kuli masih saja melekat sampai hari ini. Enam puluh sembilan tahun indonesia merdeka, kemerdekaan yang seharusnya menjadi jembatan emas ternyata hanya menjadi cita-cita belaka. Pola pikir masyarakat Indonesia masih tetap sama, pola pikir mistis tidak dapat dilenyapkan dari masyarakat Indonesia, miskin masih saja dianggap sebagai takdir Tuhan yang tidak bisa dirubah, inilah yang kemudian membuat masyarakat Indonesia masih saja terjerat dalam rantai kemiskinan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) banten, pada bulan Maret 2014 mencapai 62283 penduduk miskin dan pengangguran di Indonesia menurut BPS Nasional mencapai 7147069 pengangguran. Masihkah kita menganggap bahwa ini merupakan bagian dari sebuah takdir dan cobaan dari Yang Maha Esa?.
 Era penjajahan fisik sudah selesai, kolonialisme dan imperialisme berubah menjadi ramah, dengan memanfaatkan penguasa bangsa ini, negara-negara kolonial berhasil masuk untuk menghisap kembali dengan wujud yang berbeda, yaitu modal. perusahaan asing di Indonesia semakin lahap mengambil keuntungan dari sumber daya alam Indonesia yang melimpah, Rakyat Indonesia adalah pekerjanya, dengan upah yang sangat murah. Rakyat Indonesia kini mulai kembali terasing atas tanah dan air di negerinya. Cita-cita para pendiri bangsa Indonesia yang ada dalam undang-undang dasar 1945 pasal 33 telah menjelaskan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, juga pada UUD pasal 31 menyatakan “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, kemudian dalam pasal 27 menyatakan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, ternyata hanya menjadi cita-cita belaka bukan realita.
Banyaknya Perusahaan Asing yang mengambil sumber daya alam kita, pengetahuan yang tidak merata karena mahalnya biaya pendidikan, serta kemiskinan dan pengangguran yang terjadi di indonesia adalah penghianatan untuk kesekian kalinya pemerintah atas rakyat dan UUD 1945 yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa. Oleh karena itu, untuk menggapai cita-cita bangsa akan tanah air Indonesia, melalui sejarah terlahirnya sumpah pemuda ini semoga  terlahir pemuda-pemuda revolusioner dari kaum terpelajar untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka 100%. Merdeka!!!(Candra)

Monday, September 8, 2014

Nyonya Maria

Oleh: Candra

“Kau sebaiknya tidur sendiri, kita bukan suami-istri, tak pantas”, bentak Gian pada Maria.
“Tidak, lebih baik aku ikut, biar tidak tidur semalam suntuk”, begitulah tekad Maria.
Malam itu Maria tak mau ditinggalkan, ia tetap ingin tidur di temani Gian.


                “Ini malam Jum’at, Pemali”, teman Gian berpesan.
Sore itu Gian bersama temannya habis bermain-main dari pantai Anyer. Rumah Gian dan rumah temanya berjauhan, mereka teman akrab kemanapun selalu berdua.
                Teman Gian telah lebih dulu turun didepan rumahnya, sedangkan Gian sendiri masih dalam perjalanan pulang. Tiba-tiba mobil yang ditumpangi Gian berhenti, seorang cewek naik dan duduk persis disebelah Gian. Kebetulan Gian pada cewek itu kenal, ia adalah Maria yang sering dijumpai di Bar. Maria orangnya memang manis dan penampilanya sebagai pelayan dia sangat supel dan lincah. Justru itulah Maria banyak kenalan, terutama kaum Adam termasuk Gian.
                “mau kemana Zus Maria”, sapa Gian.
                “Pulang”, jawabnya pendek.
                Didalam mobil, Gian dan Maria ngobrol kesana-kemari, malah Maria menanyakan pada Gian, “sekolahnya kelas berapa?”, Gian tidak menjawab karena sudah lama meninggalkan sekolah. Ingin Gian mengatakan pada Maria sudah punya istri, didepan publik rasanya Gian gengsi, dengan cepat Gian mengalihkan obrolan kemasalah lain. Begitu juga Maria tak pernah bercerita pada Gian status dirinya.
                Hanya beberapa menit lagi maria akan tiba dikampung tempat tinggalnya, Gian iseng bercanda pada Maria.
                “Maria ikut aku yuk”, ajak Gian.
                “ok, asal nonton Film”, jawab Maria.
                Sesampainya didepan gedung film mereka terpaku, pertunjukan film yang terakhir hampir bubaran, terpaksa mereka tidak jadi nonton.
 “Aku harus mengantar Maria pulang”, gumam Gian dalam hatinya.
Maria diajak pulang, herannya dia menolak. Malah Maria menakut-nakuti Gian, dikampungnya jalan berdua malam-malam begini bisa babak belur oleh ronda.
                Gian bingung dengan tingkah Maria, Gian curiga, pasti ada yang misterius terselip pada diri Maria, fikir Gian. Malam itu Gian betul-betul ketempuhan buntut macan, resiko bercanda mengajak nonton pada Maria akhirnya menyusahkan dirinya sendiri.
                “kita ke pantai Anyer yuk”, usul Maria pada Gian.
                “Barusan dari sana”, jawab Gian.
                Maria mengajak ke Pantai Anyeragar lebih bebas dan leluasa bermesraan disana. Biar tidak bisa tidur, tapi Maria dapat merasakan indahnya pantai dimalam hari, disamping itu menghindari orang-orang yang kenal padanya, juga agar tak seorang pun tahu bahwa malam itu Maria pergi bersama Gian. Maria tak tahu sebetulnya Gian telah mempunyai istri dan dua orang putra. Memang betul, jika dilihat dari perawakan Gian, semua orang akan menerka bahwa Gian masih duduk dibangku Sekolah Menengah tingkat Atas.
                Gigitan angin malam terasa dingin, orang-orang disekitar mereka sudah pada tidur nyenyak dalam peraduannya masing-masing, begitu juga dengan Alan dan Candra putra Gian yang dari maghrib menantikan kedatangan Ayahnya. Tapi Ayahnya tak kunjung tiba. Mereka tak tahu, Ayahnya sedang ada dalam sekapan seorang wanita.
                Gian selalu teringat akan putranya yang setiap malamnya ingin tidur bersamanya dan setiap hari, bila Gian berangkat kerja, kedua putranya selalu melambaikan tangan dan mengucapkan “da....aaah”, mengiringi kepergian Gian.
                Dikampungnya Gian sangat hati-hati sekali dan selalu mengkaji diri demi masyarakat. Gian telah berjanji dalam hatinya tak akan meninggalkan mesjid, setiap sembahyang berjama’ah Gian selalu dipinta menjadi Imam. Memang sesuai dengan pengetahuan Gian yang jebolan sekolah Aliyah.
                Malam itu Gian betul-betul kena jerat Iblis, sehingga tenggelam dibuaian malam berbisa. Ini betul-betul merupakan ujian ke-Imanan Gian kepada Tuhan YME.
                Semua ajakan Maria tidak diperhatikannya. Gian punya akal, Maria akan disuruh tidur di Hotel sendirian, ini inspirasi yang sangat bagus, fikir Gian. Tentu Maria akan setuju, lalu aku akan segera terbebas dari segala tuntunan dosa.
                “Maria kau setuju tidur di Hotel kan?”, pinta Gian pada Maria.
                “Iya”, jawab Maria.
                Penjaga hotel telah tertidur pulas, karena pengaruh jejak malam yang hampir fajar. Terpaksa Gian harus mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mengatakan maksudnya, penjaga Hotel setuju karena masih ada satu kamar kosong.
                Setelah Maria masuk kamar Hotel, aku bisa pulang, gumam Gian dalam hatinya. Tak mungkin tidur bersama, aku dan Maria bukan suami-istri, aku tak mau istriku mimpi buruk atau mendapat firasat jelek.
                “Kau tidur disini Maria, aku akan pulang, besok akan kujemput lagi kemari atau kau pulang sendiri!”, pinta Gian pada Maria.
                “Tidak, aku tak mau tidur sendiri, takut”, jawab Maria.
                Maria tetap ingin tidur ditemani, sagala alasan Gian tidak dianggapnya. Maria selalu membujuk Gian dan sekali-kali kecupan bibir Maria terasa menggores di pipi Gian. Padahal pada waktu bujang, Gian tak pernah diciumi pacar, malah sebaliknya ciuman sayang Gian sering dilakukan pada pacarnya. Ini aneh, atau memang Gian lebih muda dari Maria. Betul, kalau dilihat dari usia, Maria lebih tua dari usia Gian.
                Gian tengadah, diangkasa raya bintang-bintang nampak indah gemerlapan menghiasi cakrawala dan memancarkan cahayanya ke pelosok Buana. Hanya bintang-bintang itulah saksi utama Gian, seandainya Gian berbuat tak keruan pada Maria.
                Dalam suasana yang menggelikan bagi Gian, pelukan dan kecupan bibir Maria masih juga mentaburi bahwa malam itu penuh pesona bagi Maria, sebaliknya bagi Gian bagaikan dalam kejaran Dosa.
                “Maafkan Maria, Yan..”, Maria berkata sambil memeluk Gian penuh rasa sayang.
                Gian hanya terdiam dan merasa kesal pada tingkah Maria. Rupanya sudah tak ada lagi cerita buat Gian, ini betul-betul kesalahan tehnis, fikirnya. Sebetulnya aku mengajak nonton  film pada Maria hanya bercanda saja. Dasar awak lagi naas, mengapa kata-kataku memikat hati Maria, seolah-olah Maria kena Hipnotis, hanya itu gerutu Gian dalam hatinya. Padahal Maria tak pernah main kemana-mana, ini pengakuan Maria, soalnya Maria tidak ada waktu, selain itu Maria sibuk di Bar. Sudah taqdir Tuhan rupanya, malam itu kami dipertemukan untuk menjadi peran utama dalam sebuah sandiwara nyata tanpa sutradara.
                “Yaaan, mau kan memaafkanku”, ucap Maria kedengarannya sangat sedih sekali.
                “Tak apa-apa, kau tak bersalah”, sela Gian
                Memang Maria tidak bersalah, tapi Gian-lah yang tak mau meluluskan kehendak Maria, sampai Maria tidak tidur semalam suntuk. Walaupun demikian Gian tetap suci menurut pandangan syara dan tidak menuruti kehendak syetan.
                “Maria betul-betul berdosa Yan, sebetulnya Maria sudah punya suami dan seorang putra, tapi Maria di madu menjadi istri muda.
                “Hah..??”.
                Telinga Gian seakan mendengar dentuman Bom Atom. Astagpirullah Al’adzim, ampunilah aku ya Tuhan. Benarkah Maria istri orang lain? Tidak! Aku tak tahu, ini bukan salahku. Oh Maria, mengapa kau tak bicara sebelumnya, mungkin aku menolak kau pergi bersamaku. Bergitulah penyesalan Gian dalam hatinya. Nasipun telah menjadi bubur dan semuanya telah berlalu.

                Malam-pun sirna, Gian berjanji dalam hatinya, mulai pagi itu untuk tidak bertemu lagi dengan Nyonya Maria.  

Saturday, September 6, 2014

Nasionalisme Keliru

                   
             Oleh : Muhamad Khotim Ali

Bangsa dan Negara sering disandingkan dalam suatu ungkapan seseorang. Retorika yang bernada tentang Nasionalime itu seakan tidak pernah bisa dipisahkan, seperti dalam ungkapan “berbangsa dan Bernegara”. Namun, persandingan dua kata itu seolah tidak ada persoalan dari keduanya.

                Bila kita lihat, sejarah mencatat jelas dalam benak masyarakat Indonesia bahwa banyak daerah-daerah yang –seharusnya—menjadi satu bangsa ingin melepaskan diri dari pulau jawa. Artinya, jika melihat pada keadaan indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan banyak sekali suku-suku, apakah kata “satu bangsa satu negara” masih rasional untuk diterapkan, mengingat sistem yang diterapkan di Indonesia (baca: Undang-Undang) sangat tidak berpihak pada mereka.

                 Sedikit mengingat kebelakang bagaimana Aceh ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemberontakan DI/TII  ditahun 1953 yang menuntut diterapkannya hukum syari’at islam yang kemudian baru bisa dirasakan setelah rezim Orba lengser melalui otonomi daerah. Lebih dari itu kemudian terjadi kembali pemberontakan dari kelompok sporadis yang dinamai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin Hasan Tiro dengan tuntutan yang lebih ekstrem, yakni melepaskan diri dari indonesia.

                Diakui atau tidak, keinginan GAM melepaskan diri dari Indonesia dikarenakan kejengahan rakyat Aceh atas eksploitasi sumber daya alam oleh kapitalis, baik lokal ataupun asing. Ketidakmampuan indonesia mengelola sumber daya alamnya sendiri sehingga harus berada dikangkangan ekonomi kapitalis dijadikan alasan untuk melepaskan diri dari NKRI. Ditetapkannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), dimana rakyat Aceh banyak yang mendapatkan tindakan refresif dari militer dengan tuduhan sebagai anggota GAM. Semua itu justru membakar semangat rakyat Aceh untuk semakin memassifkan perlawanan menuju Aceh merdeka.

                Aceh hanya satu dari sekian daerah yang menginginkan lepas dari NKRI, bagaimana Organisasi Papua Merdeka (OPM), Republik Maluku Selatan (RMS), hingga Timtim yang sudah berhasil melepaskan diri dari NKRI dan berharap mereka bisa lebih membatasi kepada nekolim sehingga kedaulatan rakyat berada ditangan mereka sendiri.

                Jika kita memahami konteks sejarah yang terjadi di Indonesia, tentu kita akan mempertanyakan dimana sumpah berbangsa satu-bangsa indonesia tidak lagi berlaku. Bagaimana tidak, penyelenggara negara (baca: pemerintah) yang paling getol mempropagandakan nasionalime tetapi menghalalkan darah anak bangsanya sendiri yang kemudian menimbulkan dendam ideologi dari anak bangsa satu dan yang lainnya. Padahal salah satu tugas negara adalah menjamin dan melindungi hak hidup warga negara dengan kecintaan terhadap sisi kemanusiaan.

                Nasionalisme kita adalah ‘Nasionalisme sempit’; nasionalisme yang tidak berjalan dengan rasa kecintaan terhadap Indonesia.  Bahkan dengan sinis Erich Froman menyatakan , “Nasionalisme adalah bentuk incest zaman ini, berhala kita, dan patriotisme adalah cara memujanya, cinta untuk sebuah Negara, jika bukan merupakan bagian dari cinta kemanusiaan, bukanlah cinta sama sekali, melainkan sekedar menyembah berhala”.         
Nasionalisme yang begitu mengakar dalam masyarakat politik Indonesia dengan gampang bisa di tangkap ketika mendengar atau membaca bagaimana seseorang dengan begitu mudahnya mempersandingkan bangsa dan Negara.  
dalam ungkapan “  demi kehidupan berbangsa dan bernegara” atau “menjalankan rasa tanggung jawab terhadap bangsa dan Negara” sebagaimana hampir setiap hari muncul dalam percakapan resmi. Bangsa dan Negara bersanding seolah-olah tidak dan tidak pernah ada soal antara keduanya, Bila kita masuk lebih dalam kesejarah maka akan tampak bahwa Bangsa, kebangsaan, baik dalam dirinya sendiri maupun dalam hubunganya dengan Negara menimbulkan keruwetan yang luar biasa. Pada saat tertentu dirasakan bahwa dobrakan modal internasional sebegitu rupa sehingga berbicara sekali lagi tentang nasionalisme  hanya membuang waktu, Nasionalisme adalah darah dan tanah, begitu kata Hittler. bagaimana tidak kita bisa melihat rezim-rezim politik kita terdahulu  dari orde baru sampai sekarang era reformasi , demokrasi, yang katanya era kebebasan berpolitik, berideologi  dan segala macam bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa harus mempermasalahkan genre, tetapi ketika sebagian orang meneriakan segera mengusut tuntas kasus yang selama ini masih janggal semacam pembunuhan PKI 1965 dan masih banyak lagi yang lainya lalu semuanya diam dan seolah-olah tidak tau, malah kebanyakan rakyat Indonesia mengatakan PKI dan antek-anteknya memang bersalah dan pantas menerima semua itu tanpa melihat sisi kemanusiaan,darah  PKI tak ubahnya seperti tumbal untuk melanggengan kekuasaan Orde baru.  ketika runtuhya rezim orde  baru Mei  1998 orang-orang  kembali meneriakan ini adalah jamanya kebebasan dan Gusdur adalah salah satu tokoh  yang ingin mencoba mempraktekan semua itu dengan menggagas mencabut TAP MPR NO ….1965 yang isinya  melarang mendirikan kembali PKI dan Segala macam organisasi yang berbau ideologi  Komunis, lalu reaksi masyarakat terutama umat muslim begitu kerasnya  mengecam ungkapan yang dilontarkan oleh gusdur, mereka berdalih komunis tidak sesuai dengan ajaran islam dan pancasila, apa ini yang namanya  demokrasi? Ya inilah hasil manipulasi  history  orde baru, semacam pembodohan bagi bangsanya sendiri.

     ketika rezim orde baru sampai sekarang rezim orde paling baru  berkuasa,  mereka membiarkan modal internasional masuk ke bumi pertiwi untuk mengeksploitasi ,mengeruk habis sumber daya alam yang ada di tanah air kita untuk dibawa ke negaranya masing-masing,  itulah nasionalisme versi penguasa kita yang tamak akan kekeuasaan dan kekayaan yang selama ini selalu meneriakan nasionalisme. Sekarang, ketika begitu banyak daerah ingin atau sekurang-kurangnya ingin memisahkan diri  dari NKRI,kita bisa ambil contoh Aceh dengan GAM-nya Maluku dengan RMS-nya  dan Papua dengan OPM-nya meneriakan ingin segera melepaskan diri  dari apa itu yang namanya Indonesia, nama asing, aneh, nama berian etnolog dan antropolog asing. Dan seketika itu juga nasionalisme yang dikira sudah mati tiba-tiba menggeliat lagi, para penguasa meneriakan “ jangan biarkan daerah-daerah dengan para pemberontaknya itu  merusak keutuhan  NKRI ini” dan rakyat awam-pun yang tidak tau apa-apa tiba-tiba meneriakan hal yang sama, demi nasionalisme, darah dan nyawapun akan dikorbankan demi keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia ini. Namun bila kita melihat dan menganalisis kejadian yang sebenarnya terjadi di aceh dan daerah-daerah lainya tentu kita akan merasakan kengerian yang di alami oleh rakyat aceh sendiri, sejak berdirinya rezim orde baru yang serba sentralistik.  aceh adalah salah satu daerah yang kekayaanya habis di keruk oleh para pemodal asing dan kompradornya, dan meninggalkan kemiskinanan untuk rakyat aceh sendiri. Berbeda Ketika orde lama berkuasa pemberontakan rakyat aceh dengan DI/TII yang berupaya melindungi dan membangun entitas kultur khas islam di aceh, GAM justru melakukan diskontinuitas yang sangat ekstrim atas sejarah integrasi nasional aceh ke republik. DI/TII masih berbicara dalam konteks Indonesia , GAM melesat jauh dengan cita-cita Negara Aceh Sumatra, dan seketika itu pula Rezim orde baru segera menjadikan Aceh sebagai  Daerah Operasi Militer(DOM) untuk menumpas habis para pemberontak. Namun yang terjadi malah sebaliknya, akibat dijadikanya aceh sebagai daerah oprasi militer (DOM) Rakyat aceh mengalami kekerasan yang tidak manusiawi oleh para militer, Pembunuhan, penyiksaan, penculikan dan pemerkosaan, yang tidak manusiawi  dilakukan oleh para militer kepada setiap rakyat Aceh yang di anggap GAM, dan membakar semangat perlawanan aceh sampai sekarang, Maluku dan Papua mengalami hal yang sama, kemiskinan , darah dan air mata berjatuhan di bumi Maluku dan papua. Jadi wajar ketika beberapa daerah ingin melepaskan diri dari NKRI akibat dari ketidakadilan penguasa yang ada di Jakarta, untuk apa nasionalisme jika tak mendatangkan rasa aman dan perut kenyang  serta kemajuan daerahnya,  Dan nasionalisme untuk Indonesia sudah mati.

    Lalu pertanyaanya apa  itu nasionalisme?  Nampaknya memang kita tengah di uji dalam soal nasionalisme,nasionalisme yang selama ini dipropagandakan adalah “ nasionalisme fisik “ dan “ Nasionalisme romantis “, atas nama Negara dengan segala atributnya dan kebanggaan semunya, darah sesama dihalalkan, kita lebih menghormati selembar kain dua warna dari pada nyawa seorang anak bangsa. Kita telah melupakan bahwa Indonesia dibentuk untuk menghormati, menjamin dan melindungi hak-hak dasar manusia dan nilai kemanusiaan. Situasi dan kondisi sekarang ini mengharuskan kita untuk merenungi kembali akar-akar dan makna kebangsaan serta nasionalisme kita.


   Bahkan dengan sinis Erich Froman menyatakan , “Nasionalisme adalah bentuk incest zaman ini, berhala kita, dan patriotisme adalah cara memujanya, cinta untuk sebuah Negara, jika bukan merupakan bagian dari cinta kemanusiaan, bukanlah cinta sama sekali, melainkan sekedar menyembah berhala”.